Hari ke-1
Halaman pertama dalam cerita ini dimulai di
Stasiun Kiara Condong, Bandung. Subuh ini terbuat dari antrian orang-orang yang
akan dijemput oleh masinis kereta. Begitu pun kami, aku dan dua orang kawanku,
Adit dan Ihsan, kami adalah kawan satu kampus di Fakultas Peternakan
Universitas Padjadjaran. Hari ini kami akan memulai perjalanan dalam rangka
pencarian data untuk skripsi kami. Tidak tanggung-tanggung penelitian yang kami
lakukan berlokasi di Pulau Sulawesi, tepatnya di Kabupaten Toraja Utara, lebih
tepatnya lagi di Pasar Bolu Rantepao.
Alih-alih penelitian, aku lebih senang
menganggap ini sebagai “Petualangan”. Ya, penelitian sebagai petualangan dan
petualangan sebagai penelitian. Sehingga aku tidak akan merasa bosan di tengah
jalan. Dan jika bagi mahasiswa lain gelar S, Pt. Berarti Sarjana Peternakan,
bagi kami S,Pt. ini adalah singkatan dari Sarjana Petualang.
Kembali lagi ke cerita, kota pertama yang akan
kami singgahi adalah Surabaya, ya, Kota Pahlawan dengan lambang Hiu dan Buaya. Untuk
sampai ke Surabaya dari Bandung sendiri kami harus melalui jarak sekitar 680
kilometer. Berhubung kereta yang kami gunakan adalah KA Pasundan kelas Ekonomi,
mau tidak mau kita harus duduk manis dengan pantat manas kurang lebih 15 jam.
Suasana di kereta hampir selalu sama,
orang-orang yang duduk, jalan-jalan, curi-curi kesempatan merokok saat
istirahat, tangisan bayi, pemandangan indah, dll. Namun ada satu hal yang
hilang dan kurindukan. Teriakan para pedagang asongan. Sekarang mereka sudah
dilarang, hanya pedagang makanan resmi
dari PT.KAI yang berjualan. Aku rindu teriakan pedagang Mizone, yang
menurutku bisa menjadi patokan dan indikator sudah sampai di kota manakah kita.
Semisal jika di Bandung, teriakan pedagang Mizone ini adalah “Mizon! Mizon!”,
lalu sudah mau keluar dari Jawa Barat teriakannya berubah menjadi “Mijon!
Mijon!”, kemudian sampai Jawa Tengah menjadi “Micon! Micon!” dan terakhir
sesampainya di daerah Jawa Timur menjadi “Mison! Mison!”. Ah, rindunya.
Singkat cerita kami sudah sampai di Surabaya.
Jika di tiket tertulis waktu sampainya adalah jam 19.48 WIB, kami sampai satu
jam setelahnya. Wajarlah, malah satu jam telat disini masih bisa dikategorikan
bahwa kita sampai cepat. Intinya yang penting kami selamat. Ditambah kami dapat
harga tiket yang lagi disubsidi, harga tiket yang normalnya diatas 100.000 kami
dapat 55.000. Sampailah kami di Stasiun Surabaya Gubeng.
Ini adalah kali kedua aku singgah di Stasiun
Gubeng, dan tujuan kami selanjutnya adalah... MAKAN! Ada satu tempat yang
menurutku makanannya enak dan juga harganya bersahabat. Dia adalah Warung
Sederhana, hanya perlu jalan kaki sekitar 5 menit dari stasiun. Harga makanan
disini semua sama 11.000 ada nasi soto, gudeg, rawon, dll. Yang paling mahal
adalah Ayam Penyet yaitu 13.000. Harga minuman kisaran 1.000-6.000 saja. Itulah
mengapa hampir selama 24 jam warung ini tidak pernah kosong pembeli.
Selesai mengisi perut, sekitar jam 21.30 kami
melanjutkan perjalanan. Kami mencari penginapan. Berkeliling-keliling di
sekitar Gubeng. Pertama kami bertanya pada orang-orang disana dimana penginapan
paling murah, setelah berjalan beberapa lama kami pun disarankan untuk menuju
Hotel Gubeng, cocok katanya buat yang asal tidurnya merem. Sesampainya disana ternyata kamar yang paling
murah dan kosong itu harganya 180.000 perhari. Kami pun mengurungkan niat kami
untuk tidur disana karena menurut kami itu termasuk mahal, jika dibagi 3 maka
kami udunan 60.000 per orang.
Keluar dari hotel itu kami rapat dulu sejenak
dan akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan beberapa menit sampai
akhirnya kami menemukan satu hotel yang benar-benar cocok untuk kami, dan hotel
itu adalah... jeng jeng jeng... Hotel Pertamina! (baca: Pom bensin). Kami
memutuskan untuk tidur di Mushalla, kami rasa cukup aman, lengkap dengan toilet
dan cafe. Yang terpenting sih gratis. Tidur di tempat semahal apa juga tetep
aja pasti ada belek, jadi mending yang gratis. Sekitar jam 11 malam akhirnya
kami bisa tertidur.
Hari ke-2
Halaman kedua cerita ini dimulai di Mushalla
Pombensin Gubeng.. eh, maksudku Hotel Pertamina. Bangun jam 5 pagi, ternyata
bukan hanya kami yang tidur disitu, ada juga satpam dan karyawan Pertamina.
Bangun tidur ku terus mandi, secara bergantian kami mandi dan menjaga barang
bawaan kami. Sebagai bentuk terimakasih kami terhadap Hotel Pertamina, setelah
mandi pun kami menyumbang masing-masing dua ribu rupiah ke kotak amal dekat
toilet. Setelah selesai semua, jam 06.30 kami pun melanjutkan perjalanan.
Kota tujuan kami selanjutnya adalah Makassar.
Kami kesana menggunakan pesawat terbang dari Bandara Juanda. Lah mungkin ada
yang nanya, “kenapa ga terbang dari Bandung atau Jakarta kan lebih gampang?”.
Ya aku jawab saja “Lah kenapa harus yang gampang kalau ternyata yang susah itu
lebih menyenangkan?” HAHA ga sih, sebenernya karena emang kami kan manusia
Modis, alias modal diskon! Waktu itu kami beli tiket pesawatnya pas lagi ada
promo dari Lion Air, udah dari satu semester sebelum keberangkatan. Harga
tiketnya 314.000 dari Surabaya ke Makassar, sama pajak jadi sekitar 400.000an
lah. Karena uang kami waktu itu masing-masing baru ada 500.000an, jadi kami
tiket yang se-engganya kami bisa booking dulu lah. Kalau dari Bandung atau
Jakarta harga tiketnya mulai dari 700.000-1.000.000an lebih. Seengganya kalau
udah punya tiket sampai Makassar mah kemungkinan penelitian jadinya udah diatas
75% lah.
Sebenernya kami masih punya waktu 24 jam lah
sebelum akhirnya terbang ke Makassar. Kami pun memutuskan untuk keliling Kota
Surabaya dulu. Tapi sebelum itu kami mengisi bensin tangki perut kami dulu.
Dimana? Ya di Warung Sederhana lah! Walaupun namanya sederhana tapi bagi kami
makanan disana sangatlah istimewa. Kami makan disana sembari bertanya pada
orang disana dan juga pada mbah gugel kemana saja kami bisa berkelana di
Surabaya. Nasi Rawon, Nasi Gudeg, dan Nasi Soto serta Es Teh Manis sudah
tercatat di kertas bon warung itu. Sementara itu di kertas lain sudah tertulis
juga list tempat-tempat yang bisa dikunjungi di Surabaya it adalah: Tugu
Pahlawan, Jembatan Merah, Monumen Kapal Selam, House of Sampoerna, Klenteng
Hong Tiek Hian, dan Museum Mpu Tantular. Siap!
Destinasi pertama kami setelah sarapan adalah
Monumen Kapal Selam. Mendengar nama tempat ini bukannya aku membayangkan Kota
Surabaya, melainkan Kota Palembang. Ah, Mpek-mpek Kapal Selam! Monumen ini
berada diatas sungai di daerah Gubeng, selain ada monumen berbentuk kapal
selam, di dalamnya pun ada museum mengenai kapal selam, pemutaran film mengenai
kapal selam, dll. Tapi jika ingin masuk ke dalam museum itu kita diharuskan
membayar 10.000, jadilah kami tidak masuk kesana dan hanya berfoto dekat sana
yang penting monumennya kebawa!
Lanjut ke destinasi kedua, kali ini kami ingin
melihat Jembatan Merah yang katanya termasuk tempat bersejarah di Surabaya.
Untuk sampai kesana kami hanya perlu menyebrang dari Monumen Kapal Selam dan
naik angkot Lyn N. Dengan membayar 5.000, angkot ini akan mengantar kita sampai
ke dekat Jembatan Merah Plaza. Dari situ kami berjalan ke Taman Jembatan Merah
dan bisa melihat Jembatan Merahnya langsung. Niat mau foto-foto disana, eh,
ternyata lagi ada Razia dari Satpol PP. Jadilah kami hanya foto-foto di taman
dekat situ. Hanya beberapa menit disini kami berjalan lagi menuju House of
Sampoerna (HOS) di Jalan Sampoerna. Tapi sebelumnya juga kami sempatkan mencari
warnet untuk download tiket pesawat dan mencetaknya.
Jam sebelas siang barulah kami memutuskan
untuk masuk ke dalam House of Sampoerna ini. Dan ternyata.... even if im not a
smoker, but i love the history of this company! Bayangin, foundernya ini dari
awalnya berjualan di “stand” yang terbuat dari bambu dan kayu, paling ukuran
2x1 meter, sekarang Pabrik Sampoerna ini (yang di Surabaya aja) sudah
mempekerjakan 2.000 orang karyawan dimana dalam setiap harinya setiap karyawan
ini bisa menghasilkan 2.000-3.000 batang rokok! A!h pokoknya banyak kalau harus
diceritain ada apa aja disini. Tempat ini wajib dikunjungi kalau kalian ke
Surabaya. Catet!
Satu keberuntungan adalah saat kami di HOS ini
kami mendapatkan tiket reservasi untuk ikut tour keliling kota menggunakan
Surabaya Heritage Track. Sebuah tour gratis bagi pengunjung HOS dimana peserta
tour akan berkeliling mengelilingi beberapa tempat bersejarah di Surabaya. Tour
ini ada setiap beberapa jam sekali. Kebetulan kami kebagian untuk mengunjungi
Kantor Pos Surabaya, Gereja Kepanjen, dan Museum Bank Indonesia. Lumayan,
selain dapat jalan-jalan gratis, sepanjang perjalanan juga sang Tour Guide
banyak memberi kami pengetahuan baru mengenai Surabaya. Tidak apa-apalah
destinasi yang kami rencanakan di Surabaya tidak tersinggahi semua.
Selesai tour gratis itu, sekitar jam 14.00
kami memutuskan untuk langsung menuju ke Bandara Juanda. Dari Jalan Sampoerna
kami berjalan sedikit menuju Jembatan Merah. Sesampainya disana perjalanan bisa
dilanjutkan menggunakan Damri sampai ke Terminal Bungurasih. Layaknya para
artis, turun dari bus kami langsung diserbu orang-rang di terminal, bukan
karena ngefans, tapi karena mereka calo yang memaksa kami naik ke bus atau
taksinya. Cukup agresif juga mereka.
Untuk bisa sampai ke Bandara Juanda dari
Terminal Bungur, ada beberapa cara. Pertama kita bisa naik angkot dua kali,
paling sekitar 15.000 namun tidak sampai bandara. Kedua, kita bisa naik Bus,
bisa sampai bandara dengan tarif perorang 20.000-25.000. Ketiga, kita bisa naik
taksi biru atau putih dengan tarif sekitar 75.000 (Taksi putih biasanya lebih
murah). Dan terakhir kita bisa jalan kaki sekitar 50 km. Silahkan pilih
sendiri, kami memilih opsi nomor tiga karena paling aman, nyaman, dan tentram.
Sebelum berangkat ke bandara kami menunggu
dulu di Ramayana di dekat Terminal Bungur. Sekedar istirahat, ibadah, dan
makan, sekalian mencari info. Sekitar tiga jam kami disana. Selanjutnya kami
sampai di Bandara Juanda sekitar jam 8 malam. Untuk desain bangunan bandara ini
juga menurutku sangat bagus dan bersih. Enak pokoknya. Penerbangan kami
dijadwalkan besok hari jam 06.00 dan jam 12.55. Ya, memang beda jadwal, dua
kawanku di pagi hari dan aku di siang hari. Semua karena faktor ekonomi.
Di Bandara Juanda kami menginap di ruang
tunggunya. Bukan hanya kami, tapi ada banyak orang yang juga sedang menunggu
dijemput oleh Pak Pilot untuk sampai ke tujuannya. Di ruang tunggu bandara
sendiri sudah cukup nyaman, yang penting buat kami sih ada colokan... colokan
listrik buat ngecas hp maksudnya.
Malam ini di ruang bandara dihabiskan dengan
saling bercerita sampai akhirnya kami terlelap bersama.
Hari ke-3
Jam dua dini hari aku sudah bangun dan kembali
terjaga. Mau tidur lagi pun takut kebabablasan dan ketinggalan
penerbangan. Tapi untungnya tidak, jam
03.30 semua sudah bangun dan kembali membereskan barang bawaannya. Jam empat
kami sudah siap untuk check-in. Kawanku yang berdua ini masuk ke dalam.
Sementara aku hanya mengantar sampai gerbang masuknya.
Jam 05.00 hari itu resmilah aku sendiri
menunggu dijemput Pak Pilot jam 12.55. Masih lama. Aku hanya berjalan-jalan di
bandara. Sesekali tiduran di ruang tunggu atau mushalla. Sambil ngemil dan
membaca.
Waktu check-in jadwal penerbanganku baru
dimulai sekitar jam 11an. Selama masa penantianku itu aku habiskan dengan
membaca buku-buku sosial dan kapitalisme yang edan. Sekiranya dengan membaca
aku bisa lupa bahwa aku belum makan. Tapi ternyata cara ini kurang mempan. Baru
jam sembilan cacing-cacing dalam perutku sudah tahan, mereka menjelma menjadi
demonstran yang menuntut asupan makanan.
Jadilah mau tidak mau aku harus makan, di
bandara. Berkeliling lama untuk mencari makanan yang enak (enak di dompet).
Bertemulah aku dengan tempat makan Jawa. Aku membeli nasi pecel yang harganya
tiga kali lipat dari nasi pecel yang kubeli di dekat terminal Bungkur. Ah
sudahlah yang penting aku dan cacingku kembali akur.
Tanpa terasa jarum panjang di jam tanganku
sudah menunjuk angka enam, sementara jarum pendeknya ada diantara angka sebelas
dan dua belas. Waktunya check-in! Satu lagi hal yang tidak akan terlupakan dari
Bandara Juanda. Mandi di toilet yang ada tulisannya dilarang mandi. Ah biarin,
mending dimarahin daripada badan bau asin.
Maskapai yang kupakai untuk terbang ini adalah
Lion-Air. Sempat khawatir juga pada awalnya karena beberapa minggu ke belakang
maskapai ini sedang dilanda berbagai masalah. Tapi untungnya tidak, tanpa ada
keterlambatan sedikitpun pesawatnya sudah datang. Semua penumpang pun senang.
Aku hanya membawa tas kamera saja. Carriel dan seisinya ku titipkan pada
bagasi.
Aku kebagian duduk di kursi nomor 36D. Wuih
pasti gede banget ya tuh kursi wuehehe. Skip. Penerbangan ke Makassar dari
Surabaya membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam. Berangkat dari jam 12.55 WIB dan
sampai jam 15.20 WITA. Selama penerbangan pun semuanya aman. Hanya satu yang
membuat tegang: suara tangisan bayi selama di pesawat.
Pesawat tiba di Bandara Hasanuddin 10 menit
lebih cepat dari jadwal. Para penumpang langsung dijemput oleh Bus. Kemudian
sesampaainya di dalam aku bergegas membawa carrielku dan mencari angkutan untuk
bisa ke Universitas Hasanuddin Makassar. Aku mencari tahu kendaraan apa yang
aku perlukan untuk sampai kesana. Ternyata Damri, ya Damri, Damri everywhere is
Damri. Di semua kota serasa ga lengkap kalau tidak menunggangi Damri. Tapi yang
bikin kaget disini adalah tulisan di loket Damrinya: Jauh-Dekat Rp. 27.000.
Buseeet! Kesel dah perasaan Damri di Bandung aja sekarang jauh dekat 7.000.
Tapi yasudahlah karena opsi lain kalau tidak mau naik Damri hanya naik taksi
atau jalan kaki.
Sekitar menunggu selama setengah jam, Damri
yang kutunggu pun datang menjemput. Aku duduk di kursi paling belakang dan
paling pojok. Di depanku ada sepasang Bule yang mengobrol menggunakan Bahasa
Inggris dan di sampingku ada orang-orang asli Toraja dan Makassar yang
berbicara dengan bahasa daerahnya. Dan sialnya, aku lebih ngerti percakapan
antara Bule itu daripada orang sini. Sementara itu penelitianku mengharuskanku
untuk melakukan wawancara kepada orang-orang Toraja. Ku coba mengobrol dengan
orang Toraja itu menggunakan bahasa Indonesia. Ternyata cukup susah juga. Tapi
yasudahlah. Nanti juga bisa.
Setelah hampir satu jam di dalam Bus sampailah
aku di sebrang Pintu 1 Unhas. Pemandangan pertama yang ku jumpa di kampus ini
adalah kandang rusa dengan rusanya yang banyak, beda dengan rusa di kampusku
yang hanya ada dua. Tapi tujuanku disini adalah ke Masjid Raya Unhasnya. Tempat
aku janjian dengan Adit dan Ihsan. Dari
gerbang masuknya samai ke masjid itu hanya perlu jalan kaki sekitar 5 menit
saja.
Sesampainya di masjid, aku pun bertemu Ihsan
dan Adit lagi. Tak ku sangka ternyata kami disambut sangat baik oleh
mahasiswa-mahasiswa Unhas. Mungkin mereka menganggap kami sebagai musafir, tapi
memang betul sih. Tujuan dari kami ke Unhas dulu sebenarnya adalah untuk
menanyakan timbangan untuk mengukur bobot badan kerbau di Toraja. Sebelumnya
malah ada dosen penguji penelitian Adit dan Ihsan yang menyuruh membawa
timbangan untuk kerbau ini dari Bandung. Gak kebayang, beratnya 40 kilogram. Jelas
saja kami keberatan sehingga memutuskan untuk meminjam dari Unhas. Namun
ternyata setelah bertemu pihak Laboran Unhasnya, untuk meminjam timbangan ini
diperlukan biaya administrasi sebesar 50.000 per hari. Satu paket timbangan ini
terdiri dari: 2 besi sensor seberat lebih dari 30 kg, sejumlah papan kayu
besar, timbangan digital, dan aki. Tentu saja kami keberatan lagi. Setelah
rapat mendadak akhirnya kami memutusukan untuk mencari Timbangan di Toraja
saja.
Sebenarnya mahasiswa DKM Unhas ini sudah
menyiapkan ruangan untuk kami tinggali semalam, namun ternyata pada sore hari
ada teman dosen kami yang bernama Bu Satra menghubungi dan mengajak bertemu.
Kami janjian di Makassar Town Square alias M’Tos, masih sodara jauh sama
Jatinangor Town Square alias Jatos. Jadilah kami diantar oleh kawan-kawan dari
Unhas menuju M’Tos.
Ternyata Bu Satra sudah disana dan menunggu
kami di dalam Foodcourt Es Teler 77. Itulah awal perjumpaan kami dengan Bu
Satra, kami disambut dengan masing-masing sepiring nasi goreng dan segelas es
teh manis. Perkenalan yang menyenangkan. Kami mengobrol banyak dengan Bu Satra
yang ternyata adalah seorang Dosen HPT (Hama Pada Tanaman) di sebuah kampus di
Unhas. Kami bercakap-cakap banyak dan
ternyata Bu Satra dulu pernah tinggal selama beberapa hari di Bandung dan
menginap di rumah tetanggaku. Yah, dunia memang sempit. Satu jam lebih kami
makan bersama dan mengobrol disana akhirnya Bu Satra mengajak kami untuk
menginap di rumahnya. Tanpa pikir panjang kami pun mengiyakan.
Ternyata dari M’Tos ke rumah Bu Satra tidak
sampai setengah jam. Kami pun disambut lagi oleh keluarganya, dan disiapkan
sebuah kamar yang menurut kami sangat mewah (setelah sebelumnya kami tidur di
bandara dan pombensin). Ada kasur, colokan listrik, AC, dan kamar mandi di
dalam kamar. Ah, keberuntungan. Lumayan.
Ternyata keberuntungan kami masih berlanjut.
Baru kami istirahat sebentaar, belum sempat mandi juga. Eh kami diajak keliling
Makassar oleh Bu Satra dan keluarganya. Tentu saja kami tidak bisa menolak.
Dengan mobil adiknya, kami dibawa ke Pantai Losari dan jalan-jalan disana
beberapa lama sampai akhirnya dipaksa untuk makan Coto Makassar. Ya mau
bagaimana lagi, kami makan saja. Ternyata memang enak sekali ini Coto Makassar,
terlebih lagi kami tidak usah membayar. Selesai makan barulah kami diajak
pulang, kami sampai di rumah Bu Satra hampir jam 12 malam. Karena benar-benar
lelah, jadi kami rasa mandi malam pun tak usah. Tidur sajalah.
Hari ke-4
Halaman ke 4 perjalanan ini dimulai dari kasur
di kamar rumah Bu Satra. Tidur kami tadi adalah tidur ternikmat terhitung dari
mulai perjalanan ini dimulai. Hanya kami bertiga, tidak banyak orang dan tidak
perlu khawatir ada barang yang hilang. Kami bangun jam tujuh dan otomatis mandi
secara bergantian. Selesai semuanya mandi kami langsung keluar kamar. Baru
berjalan beberapa langkah ternyata kami sudah disambut dengan sepiring nasi
kuning, kami pun disuruh segera sarapan dulu sebelum nanti diantar ke terminal
untuk naik bus ke Toraja.
Kami naik angkot warna biru muda setelah
berjalan sebentar keluar komplek BTP. Butuh 20 menit dan uang 5.000 untuk sampai di Terminal Makassar Metro
Permai. Sekarang sudah hampir jam 9 pagi. Setiap orang dipungut seribu rupiah
untuk masuk Terminal. Untuk Bus menuju Toraja sendiri kami harus reservasi
terlebih dahulu. Kami kebagian Bus Besar untuk ke Toraja, harganya 150.000 tapi
bisa ditawar jadi 140.000. Sementara jika kami berangkat lebih pagi dari
terminal (jam 7) ada Bus Kecil yang menuju Toraja juga. Harganya antara
100.000-120.000.
Aku bilang suasana terminal di Makassar ini
jauh lebih mencekam dibanding terminal-terminal lainnya. Bagaimana tidak
pedagang yang menawarkan makanan pun berteriak-teriak seolah kita dipaksa
membeli. Lalu ada orang yang berkata dari belakang, “kalau tidak mau beli
jangan diliatin apalagi nanyain harganya, kalau ga jadi beli bisa ditonjok.”,
keliatannya sih benar juga.
Setengah jam kemudian, sekitar pukul 09.45,
bus menuju Toraja pun datang. Warnanya hijau, kuning, putih. Barang-barang kami
simpan di bagasi lalu kami masuk ke dalam bus. Bus itu ternyata masih lowong,
hanya setengahnya saja yang terisi. Kami dapat kursi nomor 17, 18, dan 19. Bus
itu berwarna biru dengan tulisan Metro Permai, dilengkapi Air Suspension. Full
AC juga. Kursinya cukup nyaman, di dalam kabin disediakan selimut. Ada LCD TV
juga yang biasanya menjadi pajangan di setiap Bus antar kota. Ya, kurasa ini
cukup lah untuk menempuh perjalanan sekitar 350 km, atau dalam waktu 8 hingga
10 jam.
Perjalanan bus it pun dimulai dari Makassar,
karena kota ini adalah ibunya kota-kota lain di Sulsel, wajarlah kalau dibilang
ramai. Tapi masih lancar. Busnya juga nyaman. Pemandangan di jalan juga sangat
indah, rmah-rumah khas Sulawesi dan lautan. Menenangkan. Baru sekitar dua jam
perjalanan, kami langsung berhenti di sebuah restoran untuk makan. Restoran itu
bernama Arung Pala, terletak di Alonro, Barru. Tempat ini memang sudah menjadi
langganan supir-supir untuk makan. Haraga makanan disini sudah dipaket. Satu
porsi harganya 35.000, ada nasi + soto + ikan. Karena kami sudah berjanji untuk
hemat, maka kami hanya memesan satu porsi untuk bertiga.
Hampir setengah jam beristirahat akhirnya kami
kembali ke bus dan melanjutkan perjalanan. Sesekali aku tidur di jalan,
sesekali motret-motret pemandangan. Endah sudah berapa jam saya di Bus. Yang
saya ingat tempat-tempat yang kami lalui itu ada Cillelang, Mallawa,
Mallsetaji, Pare-pare, Enrekang, dll. Jam istirahat kedua pun tiba. Jam 16.30.
Busnya istirahat dulu 20 menitan sambil peumpangnya pada peregangan. Hampir jam
17.00 barulah perjalanan dilanjut kembali.
Baru sekitar setengah jam perjalanan
dilanjutkan, aku langsung tersadar sesuatu. Pemandangannya sudah mulai beda.
Ini sudah masuk pegunungan, dan terdapat banyak kerbau. Ada juga
Tongkonan-tongkonan di dekat sawah. Ternyata kami sudah sampai di Tana Toraja!
Tapi ternyata perjalanan kami masih cukup jauh. Karena tujuan kami adalah
Rantepao, di Toraja Utara. Kata penumpang lain sih itu perhentian terakhir.
Masih sekitar 2 jam lagi. Tapi tidak apa-apalah, rasa kantuk tiba-tiba hilang
saat aku melihat pemandangan di Toraja.
Ternyata Toraja tidak seperti orang-orang
bilang. Disini juga masih terdengar Adzan, banyak yang berpakaian muslim hendak
ke masjid, dan aku lihat ada pesantren juga disini. Ternyata ini adalah daerah
Makale, ibu kota dari Kabupaten Tana Toraja. Satu jam lagi sampai di Rantepao.
Jika Makale adalah ibu kota Kab. Tana Toraja,
maka Rantepao adalah ibu kota Kab. Toraja Utara. Jam 19.30 kita sampai di Perwakilan
Liman, perhentian teakhir bus. Kami turun disana bersama beberapa penumpang
yang tersisa yang kurasa bisa dihitung oleh jari. Seturun dari bus kami
mengambil barang-barang dan merapikannya. Kemudian berjalan menepi. Tidak lama
dari itu, ada seorang yang menyapa kami, “Dari Bandung ya mas?”. Ternyata orang
itu adalah Mas Daniel. Dia adalah mahasiswa bimbingannya Bu Satra yang akan
membantu kami menuju tempat tinggal sementara kami di Rantepao.
Singkat cerita setelah berkenalan dan ngobrol
sebentar kami pun segera menuju tempat tujuan. Ihsan dibonceng Mas Daniel
dengan motornya, sementara aku dan Adit menaiki Sitor, atau semacam becak
motor, yang merupakan singkatan dari Sinar Toraja. Dari perwakilan Liman menuju
tempat kosan ini tidak terlalu jauh hanya sekitar 10 menit. Biaya naik Sitor
ini lumayan mahal tapi, 15.000.
Rumah sementara kami ada di Jalan Sa’dan. Mas
Daniel langsung mengantar kami ke kamar kosan itu. Katanya pemilik rumahnya
sudah tidur. Jadi kami langsung aja masuk ke kamarnya dan istirahat. Sambil
mendengar penjelasan dan cerita dari Mas Daniel yang merupakan orang asli
Toraja.
Ya, seperti itulah
perjalanan panjang kami selama berhari-hari demi bisa menyelesaikan skripsi.
Dari kamar berukuran sekitar 5x3 meter inilah petualangan kami di Tana Toraja
dimulai! Yeahh!
Nih kalau males baca ceritanya, aku bikinin
rincian biaya selama perjalanan, barangkali berguna kalau ada yang mau
backpackingan ke Toraja juga hehehe
Hari 1
No
|
Pengeluaran
|
Harga (Rp)
|
1
|
Tiket Kereta Bdg-Sby
|
55.000
|
2
|
Aqua 2 botol 600 ml
|
6.000
|
3
|
Nasi Rames kereta 1 porsi
|
17.000
|
4
|
Mizone 1 botol
|
5.000
|
5
|
Chitato Ukuran besar (udunan)
|
3.000
|
6
|
Nasi Soto Warung Sederhana
|
11.000
|
7
|
Teh Manis
|
3.000
|
TOTAL
|
100.000
|
Hari 2
No
|
Pengeluaran
|
Harga (Rp)
|
1
|
WC Pombensin
|
2.000
|
2
|
Nasi Gudeg
|
11.000
|
3
|
Jeruk Hangat
|
3.000
|
4
|
Angkot Lyn N
|
5.000
|
5
|
Taksi (udunan)
|
25.000
|
6
|
Print Tiket Pesawat
|
3.000
|
7
|
Warnet
|
2.500
|
8
|
Aqua
|
2.500
|
9
|
Nasi + Bebek Warung Ponorogo
|
8.000
|
10
|
Bus Jembatan Merah- Terminal B ungkur
|
6.000
|
11
|
Jajan gorengan di Terminal
|
8.000
|
12
|
Nasi Rames
|
9.000
|
13
|
Teh Manis
|
2.000
|
TOTAL
|
87.000
|
Hari 3
No
|
Pengeluaran
|
Harga (Rp)
|
1
|
Tiket Pesawat Sby-Mks
|
413.000
|
2
|
Pajak Bandara Juanda
|
75.000
|
3
|
Nasi Pecel Bandara
|
31.500
|
4
|
Damri Bandara Hasanuddin - Unhas
|
27.000
|
TOTAL
|
546.500
|
Hari 4
No
|
Pengeluaran
|
Harga (Rp)
|
1
|
Angkot ke Terminal Makassar Permai
|
5.000
|
2
|
Karcis Terminal
|
1.000
|
3
|
Bus Makassar - Toraja
|
140.000
|
4
|
Aqua 2 botol
|
10.000
|
5
|
Makan Siang
|
15.000
|
6
|
Sinar Toraja
|
7.000
|
TOTAL
|
178.000
|
TOTAL: 100.000 + 87.000 + + 546.500 +
178.000 = Rp. 911.500
No comments
Post a Comment