Hampir satu jam sudah kaki saya bergetar menahan rasa pegal,
berdiri diatas kereta dengan rasa lapar dan dahaga yang kian tak tertahankan. Malam
ini saya sedang berada diatas Kereta Api Malabar yang hendak menuju Jogjakarta,
sebuah kota cantik yang sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia.
Bersama enam orang teman lainnya, kami nekad melakukan sebuah perjalanan yang
kini orang-orang kenal sebagai backpackeran.
Perkenalkan, kami adalah sekumpulan siswa kelas dua Sekolah
Menengah Atas dengan rasa penasaran dan jiwa petualang yang tak berbatas. Kami
menyebut diri kami sebagai UBLAG yang merupakan singkatan dari Ujung Berung Land Adventurer Genk.
Kebetulan kami sekolah di SMAN 24 Bandung, sebuah sekolah kecil yang terletak
di Jalan Ujung Berung, Bandung.
Pada hari ini sampai seminggu ke depan kegiatan belajar
mengajar di sekolah akan diliburkan. Para siswa kelas tiga saat itu sedang
menjalani sebuah ujian wajib bernama Ujian Nasional. Sebagai bentuk solidaritas
kami sebagai adik kelas, kami pun ikut melakukan ujian yang bernama Ujian
Nasionalisme, dimana kami wajib menunjukkan rasa nasionalisme kami. Cara kami
untuk menunjukkan rasa nasionalisme kami itu adalah dengan berjalan-jalan untuk
mengenal lebih jauh negeri kami, Indonesia!
Nama saya Didan, bertahun-tahun sudah lamanya sejak terakhir
kali saya naik kereta api. Tapi pada saat naik kereta, saya adalah satu-satunya
diantara enam orang lain yang harus berdiri saat perjalanan. Nomor kursi yang saya
dapatkan ternyata sudah ditempati oleh seorang nenek yang hendak pergi ke Solo.
Harusnya nenek itu sudah turun di stasiun sebelumnya, tapi ya, wajarlah
nenek-nenek, masa aja harus sampai ngusir sih.
Sementara saya berdiri teman-teman saya yang lain duduk manis
di atas kereta sambil sesekali menawarkan untuk gantian berdiri. Tapi
beruntung, pada saat transit sebentar di stasiun lain cukup banyak penumpang
yang turun, sehingga saya pun mendapati kursi yang kosong walau pun nomornya
tidak sesuai dengan yang ada di karcis. Wajar lah, kereta yang kami naiki ini
adalah kereta ekonomi dengan tarif cukup murah, Rp. 35.000, wajar saja banyak
penumpang yang naik turun di setiap stasiunnya.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 24.00 WIB, sudah dua
hari berarti kami ada di dalam kereta. Tidak seperti tempat duduk yang lain,
tempat kami di kereta selalu penuh oleh canda dan tawa. Hampir semua hal di
dalam kereta kami komentari, semua karena di genk kami ada seorang pelawak gila bernama Firman alias Temon.
Selain Temon, di genk kami juga ada
seorang badut bernama Algi yang selalu dibully,
ada juga Ariki, Rizqa, Genyas, dan Samuel. Genyas adalah satu-satunya yang
mabuk darat dan tertidur lelap sepanjang perjalanan. Rizqa dan Ariki sibuk
mengobrol berdua. Sedangkan Samuel adalah navigator kami karena hanya dia
satu-satunya yang pernah tinggal di Jogja.
Jarum panjang di jam tangan saya pun sekarang menunjukkan
angka tiga. Tidak akan lama lagi kami akan sampai di Jogja. Sementara itu,
persedian cemilan dan minuman selama di kereta sudah mulai menipis, bahan
obrolan pun sudah mulai habis. Akhirnya satu per satu dari kami pun tertidur.
Sekarang jam saya sudah menunjukkan pukul 04.10 WIB, kalau
mengikuti jadwal, harusnya kami sudah sampai di Stasiun Leumpuyangan di Jogja.
Tapi ternyata masih harus menunggu sekitrar satu jam lagi untuk sampai kesana.
Biasa lah karena kereta yang kami tumpangi adalah kereta kelas ekonomi, jadi
saat transit di Stasiun bisa saja lama karena menunggu kereta yang kelasnya lebih
tinggi lewat terlebih dahulu. Saya pun memutuskan untuk tidur lagi, begitu pun
yang lain. Berharap saat terbangun kami sudah sampai di Jogja.
Ternyata harapan kami benar, kami terbangun oleh suara-suara
ricuh orang yang hendak turun dari kereta itu. Samuel memberi tahu kami bahwa
kami sudah sampai di Jogja. “Alhamdulillah” ujar saya. Lumayan panas pantat
juga duduk kelamaan di kereta. Setelah itu kami pun beres-beres dan segera
turun dari kereta.
“JOGJAAA!!!” hampir serentak saya dan teman-teman saya
berteriak, karena ini adalah pengalaman pertama kami menginjakkan kaki di Jogja.
Berbeda dengan Samuel, dia tampak biasa saja. Memang Samuel itu sudah pernah
tinggal di Jogja, sebelum dia bersekolah di Bandung. Dia memang masih hidup
secara nomaden, sering berpindah-pindah tempat. Sekarang Samuel juga lah yang
akan menjadi navigator perjalanan kami.
Tujuan pertama kami adalah penginapan dan tempat tinggal kami
selama di Jogja, rumah kontrakan milik saudara Samuel yang bernama Mas Ipang.
Lokasi penginapan itu ada di daerah Janti. Pertama-tama kami jalan kaki dulu
sampai menuju Halte Transjogja. Ini juga merupakan pengalaman baru kami,
kecuali Samuel. Kami harus transit di dua halte dan naik tiga jurusan Transjoga
untuk sampai ke daerah Janti. Dari halte terakhir kami pun lanjut berjalan kaki
sekitar dua puluh menit sebelum akhirnya kami benar-benar sampai dan bisa
bersantai di tempat penginapan kami ini.
Di tengah perjalanan tidak lupa kami memberi makan
cacing-cacing kami yang sudah berdemo meminta makan pada kami. Kami pun
berhenti dulu sejenak untuk sarapan, kami sarapan di tempat yang bernama
Angkringan. Sudah lama saya mendengar tentang angkringan, tapi baru bisa
mencoba makan di angkringan sekarang. Ternyata makan di angkringan itu emang
bener-bener murah dan enak! Satu bungkus nasi kucing hanya seharga Rp 1.500,
gorengan dan the hanya Rp 500. Kami menghabiskan sekitar Rp 6.000 sampai
akhirnya cacing-cacing kami berhenti demo. Selesai makan kami pun lanjut
berjalan menuju penginapan.
Beberapa menit kemudian kami sudah sampai di tempat
penginapan itu dan bisa bersantai sejenak sebelum melanjutkan petualangan kami.
Rumah kontrakan ini tidak terlalu besar, ukuran standar bagi mahasiswa yang
ngekost atau ngontrak disini. Kami dapat satu ruangan untuk kami tempati selama
di Jogja. Ukuran ruangan itu sekitar 3x3 meter dan kami tempati bersama-sama.
Selagi kami beristirahat, kami juga bergantian mandi dulu secara bergiliran.
Untuk mandi disini kami terkadang harus menimba air dulu di sumur jika airnya
habis, tidak masalah, backpackeran
nya jadi lebih kerasa. Dasar kami backpackeran amatir, dari tujuh orang yang
ada, hanya tiga orang yang membawa handuk, jadilah kami harus bergantian.
Begitu pun peralatan mandi, harus gantian juga.
Kami semua pun selesai mandi dan istirahat. Ternyata benar
kata orang, Jogja itu memang panas. Pedahal waktu masih menunjukkan pukul 09.00
pagi dan kami pun sudah mandi. Tapi tidak masalah, panasnya Jogja tidak lebih
panas dari semangat kami untuk menjelajahi kota Jogjakarta. Sebelum melanjutkan
petualangan, kami melakukan rapat dulu sebentar untuk menentukan tujuan kami
selanjutnya.
Rapat pun selesai dilakukan, dan tujuan kami selanjutnya
adalah…. Candi Prambanan!
Seperti biasa untuk sampai ke Candi Prambanan kami naik
beberapa jurusan Transjogja, Bus Kota, dan tentunya berjalan kaki. Perjalanan
memakan waktu sekitar satu jam untuk sampai Candi Prambanan. Ini adalah
pengalaman pertama kami, kecuali Samuel, jalan-jalan ke Candi. Tidak lupa kami
abadikan momen ini dengan kamera, kamera handphone tentunya, tidak ada satu pun
dari kami yang membawa kamera.
Kami menikmati keindahan alam dan bangunan di Candi Prambanan
sekitar 3 jam, dilanjut dengan wisata kuliner mencari angkringan ke daerah
Malioboro, sambil nyari barang-barang buat oleh-oleh tentunya, nyari aja sih,
gak beli. Kami sampai di daerah Malioboro sekitar jam 3 sore. Sebuah angkringan
di dekat rel kereta api menjadi pilihan kami untuk mengisi perut, dan nasi
kucing menjadi menu utama makan kami.
Setelah kami selesai makan, kami berjalan-jalan di trotoar
Malioboro, ramai sekali! Kalau dibandingkan dengan Bandung, Malioboro ini mirip
dengan Gasibu, bedanya Malioboro ini katanya ramai di setiap hari, tidak hanya
di hari Minggu. Kami melihat banyak sekali orang-orang yang sedang mencari
barang dan juga penjual-penjual yang sedang mencari mangsa.
Saat kami sedang melihat barang-barang di Malioboro, hampir
di setiap barang yang kami lihat, termasuk baju, sticker, gantungan kunci, dan
asesoris lainnya, kami selalu melihat ada barang bertuliskan SARKEM. Ada yang
bergambar papan arah Malioboro dan Sarkem, ada yang bertuliskan “Ke Jogja
kurang lengkap kalau gak ke Sarkem”, dan masih banyak lagi. Hal ini membuat
kami penasaran terhadap nama ini, Samuel sendiri pun kurang tahu, sampai
akhirnya Temon bertanya pada seorang pedagang saking penasarannya.
“Mas, Sarkem itu apa ya?” tanya Temon
“Oh, Sarkem mas? Itu sih nama daerah deket sini.” jawab
pedagang itu lempeng
“ Oh gitu mas, terus kenapa di baju ini tulisannya Ke Jogja
kurang lengkap kalau gak ke Sarkem? Bikin penasaran aja” jawab Temon lagi
“Hahaha iya memang banyak yang penasaran, biar gak penasaran
lagi dateng aja kesana malem-malem.” Jawab pedagang itu
Setelah beberapa menit mengobrol kami pun lanjut
berjalan-jalan ke tempat lainnya, tapi dari sekian banyak barang yang kami
tawar, kami hanya membeli beberapa buah gantungan kunci saja, tujuannya untuk
mengehemat uang, karena masih ada waktu dua hari lagi di Jogja. Bahkan sempat
kami menawar barang di pedagang sampai akhirnya dapat harga yang jauh lebih murah,
tapi kami tidak jadi beli, sampai membuat pedagangnya marah-marah dan
kumat-kamit, untungnya dengan bahasa Jawa, jadi kami tidak terlalu mengerti.
Tidak terasa sudah hampir dua jam kami berjalan-jalan di
Malioboro, waktu pun sudah hampir menunjukkan jam 5 sore, sementara itu
Transjogja hanya beroperasi sampai jam 5 sore, kami pun memutuskan untuk
pulang. Kami pun pulang ke kontrakan naik Transjogja.
Sekitar jam 6 sore kami sudah sampai di kontrakkan. Suhu
disini benar-benar panas! Ditambah lagi ruangan kecil yang diisi oleh 7 orang
sekaligus. Untuk mandi pun butuh perjuangan. Untuk menentukan siapa yang berhak
mandi pertama pun kami menggunakan kartu remi, kami memainkan sebuah permainan
bernama gebrakan. Dia yang menang
adalah dia yang bisa dengan cepat dan tepat menggebrak kartu remi yang
dikeluarkan oleh pemain. Setiap pemain yang terakhir harus mengambil sejumlah
kartu yang terkumpul di arena permainan. Pemenang utama adalah yang paling
cepat menghabiskan kartu di tangan. Untunglah saya berhasil meraih juara 3,
jadi kebagian mandi urutan yang ketiga.
Kami semua baru benar-benar selesai mandi pada pukul 21.00
WIB, dan mandi pun tidak terlalu berpengaruh. Kami tetap kepanasan, dan ini pun
kami sudah dipinjami kipas angina oleh Mas Ipang. Untuk mengurangi rasa panas
dan kepengapan, Mas Ipang mengajak kami makan di luar. Lumayan, di luar
udaranya lebih segar. Kami makan dan ngopi di bawah fly over di daerah Janti.
Kami baru pulang lagi ke penginapan sekitar pukul 24.00 WIB.
Sesampainya di penginapan kami memtuskan untuk langsung
tidur. Kami tidur seadanya, bayangkan saja ruangan ukuran 3x3 meter dipakai
oleh 7 orang, atau bisa dihitung 8 orang, Algi dihitung jatah tidur 2 orang.
Ditambah barang-barang juga disimpan disana. Saya yang terbiasa tidur dengan
selimut di Bandung pun memilih untuk tidur tanpa mengenakan baju, hareudang! Posisi kami tidur pun sudah
seperti korban evakuasi, ada yang berpelukan, bertumpukkan, dan sebagainya.
Wajarlah, namanya juga penginapan gratisan. Tas kami jadikan bantal dan jaket
kami jadikan kasur, serta badan teman kami jadikan guling.
Ternyata kami semua bisa tidur dengan nyenyak, buktinya saya
terbangun sekitar pukul 08.00 WIB. Tanpa pikir panjang saya langsung
membangunkan yang lain dilanjutkan dengan mandi. Seperti sebelumnya, kami saya
harus menimba air dulu sebelum mandi.
Baru sekitar pukul 10.00 WIB semua selesai mandi dan siap
melanjutkan perjalanan. Hari ini kami tidak punya tujuan tertentu, lebih ingin
berkeliling kota Jogjakarta saja. Seperti biasa kami berjalalan kaki dulu
sampai ke halte sebelum akhirnya naik Transjogja. Kami transit beberapa kali
dan ganti jurusan Transjogja juga beberapa kali sampai saya lupa dimana saja.
Kami berkeliling-keliling kota Jogjakarta, turun dari Transjogja untuk mencari
makan dan sekedar mengambil foto. Kami juga berkunjung ke Museum Vredeburg yang
banyak berisi peninggalan-peninggalan di Era Perjuangan Kemerdekaan RI.
Waktu sudah malam, dan kami masih belum kembali ke
penginapan. Sekarang kami sedang makan malam dan ngopi di sebuah kedai bernama
Mato Angin. Cuaca disini tidak terlalu panas walau pun ramai. Lama sekali kami
berada di kedai ini, saya sudah mulai bosan juga, ingin mencari udara segar.
Sementara itu teman-teman saya yang lain sedang asyik bermain remi. Lalu
tiba-tiba Temon mengajak jalan-jalan keluar karena dia juga tidak ikut bermain
kartu, tanpa berpikir panjang kami pun langsung keluar dari kedai. Sekarang
saya dan Temon berpisah dari teman-teman yang lain. Kami memutuskan untuk
berjalan-jalan lagi.
Kami berdua berjalan-jalan tanpa tujuan, ditambah lagi sudah
tidak ada angkutan umum yang beroperasi disini, hanya ada becak dan bentor
alias becak motor. Bentor pun akhirnya menjadi pilihan kami untuk melanjutkan
perjalanan. Entah kenapa tiba-tiba Saya dan Temon menanyakan Sarkem pada Tukang
Bentor itu. “Seriusan dek mau ke Sarkem” Tanya Tukang Bentor itu. Entah kenapa
pertanyaan itu membuat kami semakin penasaran. “Emang kenapa pak?” tanya saya
polos. “Tidak apa-apa ko, hanya kalian masih muda saja, tapi kalau mau saya
antarkan” jawabnya. Kemudian kami pun diantarkan ke daerah Sarkem.
Setelah hampir setengah jam, bentor itu pun akhirnya
berhenti. Kami berhenti di depan sebuah gang kecil. “Hati-hati ya dek” itu lah
kata-kata terakhir dari tukang bentor itu. Setelah selesai membayar kami berdua
lanjut berjalan ke depan gang itu, suasananya sih terasa biasa saja. Kami
melihat banyak bapak-bapak antri di gang itu, tapi kami sudah tanggung disini,
daripada balik lagi, kami pun tetap melanjutkan perjalanan.
Kesan pertama saat memasuki gang di Sarkem ini adalah sepi,
setelah melewati antrian bapak-bapak itu hanya ada rumah-rumah kosong dengan
jarak yang sangat berdekatan, kami terus berjalan walau pun suasana mulai agak
menyeramkan. Saat kami berjalalan tiba-tiba ada yang menepuk pundak kami dari
belakang, kami kaget dan hampir saja berteriak. Lalu kami berdua pun
membalikkan badan kami, dan ternyata yang menepuk kami adalah seorang
tante-tante. “Hai….” sapa tante itu dengan gaya centil, sayangnya wajah tante
ini menyeramkan, dengan wajah penuh bedak juga hidung yang bengkok, dan dengan
pakaian yang mini, tante itu menarik-narik tangan Temon, berusaha menggoda.
Tetapi kami tidak sedikit pun tergoda, yang ada kami berdua merasa takut dan
ingin melarikan diri. Saya menarik tangan temon juga, sekarang temon ditarik
oleh saya dan tante itu. Akhnya tangan Temon terlepas dari tante itu, dan kami
pun bisa melarikan diri. Setelah itu si tante langsung berteriak kencang
“Woooy!! Ada berondong ciiin…”. Setelah itu tiba-tiba ada banyak perempuan-perempuan
yang keluar dari rumah rumah disini dan berteriak-teriak. Wajah mereka hampir
sama, penuh bedak dan hasil suntikan. Sungguh menyeramkan. Kami berdua berlari
menjauhi dan mencoba keluar dari daerah ini. Setelah sekian lama berada di daerah
aneh ini, kami pun berhasil keluar dan kembali ke jalan raya. Langsung saja
kami istirahat dan menenangkan diri dulu di pinggir jalan.
Ternyata tempat yang orang-orang kenal sebagai sarkem alias
Pasar Kembang ini adalah sebuah tempat
prostitusi, pantas saja banyak reaksi yang tidak biasa dari orang-orang saat
kami menanyakan hal ini. Tapi beruntunglah kami masih bisa keluar dengan
selamat, kami pun langsung mencari bentor lagi untuk kembali ke penginapan.
Saat saya melihat jam, ternyata waktu sudah mennjukkan pukul 03.00 WIB.
Teman-teman kami sudah tertidur sepertinya.
Sekitar jam 4 pagi kami sampai di penginapan, ternyata
pintunya sudah dikunci. Kami pun mengetuk pintu berkali-kali sampai akhirnya
mereka semua terbangun. Samuel yang membukakan pintu. Kemudian kami duduk
istirahat di dalam, lalu ada yang bertanya “Mon, mata kamu kenapa?” ternyata
itu adalah Algi, sambil menunjuk ke arah mata Temon, kami pun melihat matanya.
Ternyata mata Temon berubah menjadi warna merah, sipit, dan agak berair, seperti
bintitan. Mereka pun bertanya kemana saja saya dan Temon tadi, dan kami berdua
pun menceritakan cerita dan pengalaman aneh kami di Sarkem tadi. Semua orang
yang mendengarkan langsung tertawa dan mengejek-ejek Temon karena matanya
bintitan setelah dari Sarkem. Sepanjang subuh itu Temon menjadi bahan tertawaan
semua yang ada di kamar sempit ini. Semua tertawa sampai akhirnya tidur
kembali.
Sekarang sudah siang, hampir jam 12 siang, kami baru
terbangun. Namun sebuah kejadian aneh ternyata menimpa kami. Sekarang bukan
hanya mata Temon saja yang merah, tapi mata Genyas, Ariki, Rizqa, dan Algi pun
semua menjadi merah dan seperti bintitan. Saya merasa kasihan, namun entah
kenapa ingin tertawa. Hanya tinggal saya dan Samuel yang mata nya masih normal,
mungkin karena saat ngobrol dengan Temon tadi kami menggunakan kacamata, ada
yang melindungi.
Semua yang tadi menertawakan mata Temon sekarang diam,
ternyata mereka juga kualat. Sudah jelas kamar dengan ukuran sesempit ini
menyebabkan kami semua tidur saling berdekatan. Pedahal hari ini semua harus
pulang kembali ke Bandung. Kami masih punya waktu beberapa jam sebelum kereta
menuju Bandung berangkat, sekitar 9 jam lagi.
Saat itu kami pun menentukan mau kemana dulu sebelum pulang,
dan ternyata kami akan ke Malioboro dulu untuk belanja, bukan belanja
oleh-oleh, tapi belanja beli kacamata buat nutupin mata-mata sakit mereka.
Pada jam 4 sore kami sudah beres-beres dan berpamitan pada
Mas Ipang, tidak lupa mengucapkan terimakasih sudah mau menerima kami tinggal
disana untuk beberapa hari. Kami pun berangkat, tujuan kami sekarang adalah
Stasiun Leumpuyangan, tapi sebelumnya kami ke Malioboro dulu untuk membeli
kacamata. Saya dan Samuel yang bertugas membelikan kacamata untuk mereka,
sementara itu mereka menunggu dekat sana, karena mata mereka juga kurang enak
kalau terkena banyak angin. Saya dan Samuel sebenarnya kasihan sama mereka,
walaupun sesekali menertawakan. Setelah berjalan jalan sekian lama, saya dan
Samuel pun mendapat 5 buah pasang mata untuk para korban keganasan Jogja, atau
mungkin tepatnya gara-gara ke Sarkem.
Setelah mendapatkan kacamata kami pun melanjutkan perjalanan
ke Stasiun Leumpuyangan. Kami tiba di stasiun Leumpuyangan sekitar pukul 20.00
WIB. Disana kami banyak menjadi pusat perhatian, wajar sajam, karena kami
sekumpulan orang yang mengenakan kacamata. Saya dan Samuel sih masih mending
pakai kacamata dengan lensa biasa, nah yang lain pakai kacamata hitam. Sudah
seperti berlibur di pantai pedahal kami sedang di stasiun kereta. Tidak apa-apa
lah anggap penyakit ini adalah kenang-kenangan dari Jogja. Selalu mengingatkan
betapa kehangatan yang kita dapat saat tidur di kamar berukuran 3x3 meter.
Jam 6 pagi kami sudah sampai kembali di Bandung. Tidak
seperti saat berangkat, di perjalanan pulang hampir sebagian besar kami pakai
tidur karena sudah sangat lelah. Ternyata ada sebuah kejutan lagi, setelah
bangun dari tidur dan sampai di Bandung, mata saya dan Samuel pun menjadi merah
seperti mata yang lainnya. Entah kenapa bukannya bersedih karena sakit, kita malah
tertawa bangga, mungkin inilah bentuk solidaritas kita sebagai para backpacker.
Tips:
Jangan menertawakan penderitaan teman, kalau traveling bawa
alat mandi masing-masing, jangan menawar-nawar barang sampai murah kalau tidak akan dibeli, jangan main ke
tempat prostitusi, sebagai backpacker harus solid dalam suka maupun duka.
No comments
Post a Comment