Stasiun kereta api lagi. Stasiun Kereta Api Bandung tepatnya. Mereka sudah disana sejak pukul 17.27 WIB (Waktu Indonesia Barudak). Mereka disini mengarah pada tiga orang pemuda yang sudah bersahabat dari masa SMA; Didan, Dicky, dan Qibul. Katanya sih pada mau ke Jogja, backpackeran. Tapi masa backpackeranya pake kereta bisnis sih, mahal, harganya empat kali lipat harga tiket kereta ekonomi. Pfft. Suruh siapa ngedadak sih. Hobi banget ngedadak. Masa besoknya mau berangkat, eh sore nya baru beli tiket. Tapi gak apa apa lah, prinsip mereka kan "waktu buat bisa maen bareng lebih susah dicari daripada uang". (Ah, nyari uang apaan, orang pada minta ke orang tua nya).
Ada waktu sekitar tiga jam untuk menunggu kereta datang menjemput mereka dan orang-orang yang mempunyai karcis yang sama dengan mereka, masih lama. Oh iya, mereka pergi ke stasiun diantar oleh supir pribadi mereka, Aris. Dia tadinya mau ikut, tapi karena ada job nyupir lain, jadi aja gak ikut. Mereka memulai petualangan mereka dengan belanja di mini market di dalem stasiun, dilanjut dengan makan di rumah makan padang deket stasiun. Ah, perut terus yang mereka urusin, mungkin karena ada siluman perut disitu, si Qibul.
Suasana saat itu sungguh riang gembira, adil dan makmur, juga nyaman serta tenteram, rasa-rasa nya bau nasi kucing sudah menggerayangi mereka. Namun ke-riang gembira, adil dan makmur, juga nyaman serta tenteram-an itu pun tiba-tiba sirna saat sebuah panggilan masuk ke dalam handphone Qibul. Ternyata itu panggilan dari pacarnya!
Qibul mulai menjauh dari teman-temannya, mencari tempat yang lebih hening untuk mengobrol, lama, Qibul ga balik-balik lagi. Temannya yang lain pun mencari Qibul karena penasaran. Muka Qibul nampak tegang, memerah, dan keringat dingin. Kelihatanya sih dia lagi berantem sama pacarnya, ternyata emang iya lagi berantem. Kasian, badan besar memang tidak menjamin seseorang itu tangguh, seperti Qibul, terlihat tangguh pedahal mah rapuh. Uuuuhh.
Sudah hampir setengah jam Qibul ngegumel di handphone nya, belum juga beres juga, Didan pun datang menghampiri. Didan menyuruh Qibul shalat dulu, panggilan diambil alih oleh Didan. Tapi taunya Didan yang mencoba menenangkan malah ikut dimarahi pacarnya Qibul, gimana ga kesel meureun ya. Teleponnya ga mau ditutup sama pacarnya Qibul, udah aja Didan puterin lagunya Last Child yang judulnya Pedih ke pacarnya Qibul lewat telpon, niatnya sih biar tenang dulu, itung-itung nada tunggu lah. Eh, taunya tambah marah pemirsaaa!!
Telepon pun kembali diambil alih oleh Qibul, setelah Shalat muka Qibul nampak lebih terang, seterang lampu OSRAM (yang bintang iklannya itu Drakula hihi). Setelah sekian lama komat kamit di telepon lagi akhirnya Qibul beres juga teteleponanya. Yang lain pun penasaran dengan apa yang terjadi diantara Qibul dan pacarnya. Ternyata Qibul lupa kalau hari itu dia punya janji buat ketemu sama pacarnya itu, ah dasar, ternyata badan besar juga tidak menjamin ingatan kuat. Tapi gak apa-apa untungnya, perjalanan ke Jogja pun tetep jadi.
Jarum pendek jam pun sudah berada ditengah angka 8 dan 7. Ini berarti sebentar lagi kereta akan datang menjemput mereka. Mereka akhirnya masuk ke ruang tunggu stasiun, takut ditinggalin kayanya. Tapi sebelum masuk, mereka belanja makanan lagi, dasar. Akhirnya setelah beberapa lama menunggu, kereta pun datang. Mereka naik kereta dengan tertib dan lancar, tidak seperti di film 5 cm, yang sampai si gendutnya harus lari-lari dulu buat ngejar kereta yang udah maju. Yang paling gendut diantara mereka itu adalah si Qibul, kebayang aja kalau si Qibul yang ngejar ngejar keretanya kaya si Ian di film 5 cm. Untungnya waktu itu mereka belum tau tentang 5 cm, jadi intinya ini ga penting.
Petualangan pun dimulai. Tidak ada hal yang benar-benar seru atau pun menarik selama di kereta bisnis. Yang menarik hanya satu, si Kondektur yang 'menarik', menarik karcis kereta dari para penumpang. Fyuuh. Selama di kereta itu, mereka hanya diam, ketawa-ketawa, dan bergeje ria, tapi lebih banyaknya sih tidur. Qibul juga kelihatannya masih galau, mungkin karena dua hal, mikirin pacarnya atau mikirin perutnya yang laper.
Setelah lebih kurang delapan jam duduk, akhirnya mereka sampai juga di Stasiun Tugu, Jogjakarta...
Hari ke-1 di Jogja
Turun dari kereta, mereka langsung melakukan ritual yang sudah umum dilakukan orang-orang saat turun dari kereta, ke toilet. Ditambah sedikit peregangan otot-otot yang kebanyakan disfungsi selama di kereta. Ternyata, hari masih subuh. Oh iya, ini kan kereta bisnis, bukan ekonomi, jadi datengnya sesuai jadwal, ga kaya ekonomi yang suka nunggu kereta lain. Pada akhirnya mereka mencari mesjid dulu buat ngecas sekalian Shalat, eh kebalik, buat Shalat sekalian ngecas.
Mereka mencari mesjid di daerah Sosrowijayan, daerah ini di deket Malioboro, jalan dikit dari Stasiun Tugu. Di daerah Sosrowijayan juga banyak penginapan, jadi sekalian mereka mencari. Satu per satu tempat penginapan mereka datangi, tapi mereka nyari yang murah aja, soalnya emang udah diniatin bakal dibanyakin jalan-jalan daripada diem di kamar, kamar mah cuma buat transit barang, eh sama ngecas juga, sama mandi juga deh, dan sama tidur juga pastinya.
Akhirnya ada penginapan yang cocok sama (dompet) mereka. Harganya Rp 90.000/malem. Namanya Pondok Suryo. Ya lumayan lah, satu kasur, satu kipas angin, satu jam dinding, satu guling, dua bantal, satu selimut, dan kamar mandi yang segede kandang hamster. Pffft. Lokasinya juga di deket sarkem (pasar kembang, kalau di Bandung mah Saritem), kalau pagi atau malem suka banyak yang begitu lah, udah ngerti meureun ya udah dewasa.
Hari pertama di Jogja, mereka tidur pagi dulu sebentar. Kemudian cari makan ke daerah Malioboro, di Angkringan pastinya, sambil nyari-nyari info tempat wisata disana, keliatan kurang persiapanya. Setelah ngobrol kesana kemari, akhirnya mereka memutuskan untuk pergi ke Candi Borobudur, satu bangunan Keajaiban Dunia dari Indonesia.
Angkringan (berasal dari bahasa Jawa ' Angkring ' yang berarti duduk santai) adalah sebuah gerobag dorong yang menjual berbagai macam makanan dan minuman yang biasa terdapat di setiap pinggir ruas jalan di Jogja dan Jateng. (kata Om Wikipedia)
Untuk menuju Candi Borobudur, tidak susah kok, dari Malioboro mereka naik Transjogja ke Shelter Ahmad Dahlan. dilanjut ke Terminal Jombor, terus ke Terminal Drs. Prajitno di Muntilan, lalu naik andong deh ke Candi Borobudurnya. Ongkos totalnya kurang lebih Rp 20.000/orang, buat masuk ke candinya harus bayar lagi Rp 23.000/orang. Oh iya, di perjalanan mereka bertemu traveler lain dari Makassar, namanya Om Adi, dia jalan-jalan sendirian. Katanya sih bete harus nungguin istrinya yang lagi ada meeting gitu, makanya minggat.
Om Adi orangnya baik dan ramah, selama jalan bareng Didan, Dicky, dan Qibul, dia sering mensponsori kegiatan yang mereka lakukan, baik itu dalam bidang konsumsi atau pun transportasi (baca: nraktir). Bisa jadi juga karena Om Adi kasian melihat paras muka ke-tiga orang yang mengkhawatirkan ini. Siluman bibir, siluman alis, dan siluman beuteung.
Setelah berjalan-jalan, wisata kuliner, dan foto-foto di Candi Borobudur, mereka berempat mampir dulu ke musium yang isinya barang-barang unik semacam; keris terkecil di dunia, candi terkecil di dunia, dll. Lumayan keren sih, bisa bikin bibir ini berkata "wooow". Ada video dokumenter tentang meletusnya Gunung Merapi juga. Nama musiumnya, Musium Unik Indonesia.
Sekitar jam 2 siang, mereka akhirnya pulang dari Candi Borobudur, jalur pulangnya tidak jauh berbeda, ongkosnya juga. Sepanjang jalan mereka bertiga banyak sharing dan bercerita dengan Om Adi, sampai tidak terasa ternyata mereka sudah harus berpisah, salam perpisahan mereka adalah dengan bertukar nomor handphone Om Adi dan Didan. Prikitiw.
Mereka sekarang bertiga lagi, mereka pulang dulu ke penginapan. Istirahat dulu, nanti malem mau main lagi katanya. Mereka pun lalu tidur, karena kasurnya hanya ada satu, dan juga mini, maka salah seorang dari mereka harus rela tidur di bawah. Bangun tidur langsung pada mandi. Ukuran kamar mandinya mungkin 1 x 3 meter, ga apa apa lah, cuma kasian si Qibul, kesempitan.
Sore menjelang malam, mereka keluyuran lagi keluar, sambil nyari makan juga. Mereka belum tau mau kemana. Tapi mereka teringat untuk menjumpai teman SMA mereka lainnya, Samuel. Samuel ini tak beda jauh dengan para homo homo sapiens yang hidupnya nomaden, bedanya dia adalah Digital Nomad. Hidupnya berpindah-pindah. dari Sumatera sampai Papua dia sudah pernah singgahi, asyik kayanya ya. Mereka bertemu di Masjid Raya Jogja di daerah Malioboro juga.
Setelah bernostalgia cukup lama, mereka pun pindah tempat ke Nasi Goreng Daging Sapi, di deket Stasiun Leumpuyangan. Cuma pedagang kaki lima sih, tapi disana kita bisa liat banyak kaki! Pengunjungnya banyak banget walaupun tempatnya sangat sederhana, di trotoar jalan deket solokan. Ini membuat mereka heran sampai akhirnya mereka tidak heran setelah nasi goreng pesanan mereka dimakan. Enak banget ternyata.
Selepas makan mereka menyimpang dulu ke Stasiun Leumpuyangan buat beli tiket pulang. Mereka mau pulang ke Bandung pake kereta ekonomi katanya, biar lebih hemat. Dan ternyata karcis ekonominya habis, wajah pasrah pun terpancar dari ketiga pemuda itu, terpaksa mereka harus beli tiket bisnis, lagi!
Untuk menghilangkan kekecewaan mereka pada Stasiun yang tidak mau menyisakan karcis kereta ekonomi untuk mereka, mereka pun akhirnya berjalan-jalan keliling Jogja, jalan-jalan di Jogja katanya aman, ga banyak begal kaya di Bandung, hanya satu yang mereka takuti, Bencong! Ya, bencong, di Jogja kalau malem emang ga aneh ngeliat bencong berkeliaran. Mereka berjalan-jalan sampai akhirnya mereka kembali ke penginapan. Mereka pun istirahat. Hari yang menyenangkan, mungkin melelahkan, tapi yang pasti tak akan terlupakan.
Hari ke-2 di Jogja
Pagi itu terbuat dari wanita-wanita yang lalu lalang dengan pakaian minim dan wajah kelelahan melewati penginapan mereka, ya, penginapan mereka memang tidak jauh dari Sarkem alias Pasar Kembang. Ah,ini ga penting.
Pagi mereka yang sebenarnya terbuat dari rasa kebingungan mau pergi kemana lagi mereka hari itu, di peta wisata yang dikasih sama Mas penginapanya sih ada banyak tempat, sayangnya kurang sinkron dengan keadaan mereka. Mereka pun teringat cerita dari Samuel tentang Kaliurang. Kaliurang ini adalah salah satu tempat wisata yang ada di Sleman. Deket Gunung Merapi. Kalau dianalogikan sama di Bandung sih, Kaliurang ini mirip sama Lembang dan Gunung Tangkuban Parahu nya. Cocok lah buat ngadem, dan yang penting ga harus ngeluarin banyak uang, pikir mereka.
Sebelum mereka meluncur ke Kaliurang, mereka bertiga sarapan dulu di Angkringan deket Stasiun Tugu Jogja, ya sekalian beli karcis kereta. Kasian, lagi-lagi mereka dapetnya kereta Bisnis, mereka sampai-sampai harus minta uang sama ATM demi memenuhi kebutuhan mereka saat itu. Apalagi Qibul, dia sampai-sampai minta transferin uang sama mamahnya di Bandung. Ah, backpacker macam apa mereka ini.
Selesai sarapan dan memesan karcis pulang, mereka katanya mau belanja oleh-oleh dulu, banyak yang nitip katanya. Mereka mencari oleh-oleh dari mulai Malioboro sampai ke Pasar Beringharjo, juga sampai ke toko-toko di sekitar sana. Baju, celana, pernak-pernik, dkk. mereka cari, sampai mereka harus rela berdesak-desakan dan panas-panasan, juga tawar-tawaran. Katanya sih sebentar, tapi taunya lama banget mereka belanja, mereka selesai belanja sampai tengah hari lebih. Mereka pun balik dulu ke penginapan buat nyimpen belanjaan sama persiapan buat ke Kaliurang.
Lebih kurang mereka beristirahat dan persiapan buat ke Kaliurang sekitar 2 jam lah. Sekarang jam menunjukan pukul 14.30 WIB, mereka pun berangkat. Petualangan hari ini masi sama dengan kemarin, dimulai dari shelter Malioboro. Setelah sekitar satu jam naik turun Trans Jogja, mereka pun sampai di perempatan ke Kaliurang. Tapi disini masih jauh ke tempat tujuan, masih harus naik satu kendaraan lagi, yaitu Elf. Elf yang langsung menuju ke Desa Wisata Kaliurang.
Hari semakin sore, mereka hanya bertiga di Elf, tidak ada penumpang lain, ditambah wajah si supir yang menyeramkan. Pertanda apakah ini? Entahlah!
Setelah satu jam lebih mereka duduk di Elf akhirnya mereka sampai di tujuan, Desa Wisata Kaliurang. Disana cukup ramai oleh orang-orang yang hendak pulang. Hah? Pulang?! Iya, pulang. Ternyata mereka sampai disana hampir jam 5 sore, dan jam 5 sore adalah waktunya tutup bagi tempat wisata itu. Ah, mereka sedih. Disana juga ada wisata Jeep menuju Gunung Merapi, tapi ternyata itu juga udah tutup. Ah, mereka tambah sedih. Dan satu lagi yang membuat mereka sedih, ternyata kendaraan atau angkutan umum yang balik lagi ke Jogja pun sudah berhenti beroperasi setelah jam 5 sore. Wajah kecewa pun jelas terlihat dari wajah mereka. Ya, tapi apa boleh buat, mereka begitu pun karena mereka sendiri.
Mereka pun tetap melanjutkan perjalanan. Perjalanan makan, kasian mereka kelaparan jadinya. Mereka makan di warung yang menyediakan sate kelinci. Sejenak mereka senang karena harga sate kelinci disana sepertiga kali lebih murah dibanding di Lembang, Rp 9000, sampai akhirnya mereka pun sedih lagi karena ternyata sate kelincinya hanya tiga tusuk. Pantes aja murah. Mereka pun diam dulu di warung itu sambil melakukan rapat terbuka, mau kemana lagi mereka setelah ini.
Keputusan pun diambil, mereka memutuskan untuk kembali ke Jogja dengan cara menumpang ke kendaraan lain. Mereka menggunakan cara mengacungkan jempol ke kendaraan yang lewat, terutama kolbak (kol buntung). Sudah hampir lebih dari 5 menit menunggu namun tak ada satu pun kendaraan yang lewat dan bisa ditumpangi. Akhirnya mereka pun menunggu sambil berjalan kaki.
Memang mereka sedang apes sepertinya, sudah berjalan kaki lebih kurang 2 km, tp belum ada juga kolbak yang mereka tunggu, lebih tepatnya yang mau memberi mereka tumpangan, karena setiap mereka mengacungkan jempol, tetap saja tidak ada yang berhenti, sampai-sampai Didan kepikiran untuk mengacungkan jari tengah daripada jempol biar ada mobil yang berhenti (berhenti sih berhenti mungkin, tapi bukan untuk memberi tumpangan, tapi memberi timpukan). Barulah sekitar jam 18.30 WIB ada kendaraan yang berhenti. Supir pun bertanya "Mau numpang dek? Kemana?", mereka bertiga pun langsung berteriak "Jogja Pak! Jogja! Numpang Pak!!", mereka sangat senang seolah menemukan oase di tengah gurun pasir. Oooh.
Akhirnya sekarang mereka mendapatkan tumpangan, walaupun ternyata si supir hanya bisa mengantar beberapa kilometer saja, tapi mereka terlihat sangat sumringah. Mereka optimis masih banyak supir baik yang akan memberi mereka tumpangan. Tapi ternyata perkiraan mereka salah, setelah diturunkan dari kolbak yang beda arah sama mereka itu, mereka tidak kunjung mendapat tumpangan lagi. Mereka masih ada di daerah pinggiran kota, masih puluhan kilometer lagi dari penginapan. Sementara itu, angkutan umum lain seperti ojeg, becak, ataupun delman sudah tidak ada yang beroperasi. Terpaksa mereka harus berjalan.
Didan, Dicky, dan Qibul terus berjalan, seperti tiga murid Tong Sam Chong pada film Kera Sakti. Mereka terus melangkahkan kaki, kiri-kanan, kiri-kanan, kiri-kanan, kiri-kanan, kiri-kanan, kiri-kanan, kiri-kanan, kiri-kanan, kiri-kanan, kiri-kanan, kiri-kanan, kiri-kanan, kiri-kanan, kiri-kanan, kiri-kanan, kiri-kanan, kiri-kanan, kiri-kanan, jauuuuuuuuuuuuuuuuuuuuh sekali mereka berjalan, mungkin hampir 10 km. Rasa lelah mereka masih kalah oleh rasa ingin pulang mereka kembali ke penginapan. Mereka berjalan sudah seperti helder yang kehausan dan menjulur-julurkan lidahnya.
Tanpa terasa mereka akhirnya sampai ke daerah yang menunjukan ada tanda-tanda kehidupan. Mereka bertanya ke orang-orang disana, tapi tetap saja penginapan mereka masih jauh dan tidak ada angkutan umum yang beroperasi, kecuali Taksi. Hah taksi? Masa backpackeran pake Taksi? Ah, mereka nampak kebingungan. Tapi mau bagaimana lagi, dengan alasan untuk menghemat tenaga dan waktu, mereka pun naik taksi untuk balik. So elit banget backpacker pake taksi.
Sebelum mereka sampai ke penginapan, ternyata supir taksi itu ngajak buat mampir dulu ke tempat pembuatan bakpia, mereka mengiyakan, sekalian beli oleh-oleh juga. Bakpia disana enak, masih panas-panas juga. Qibul yang paling banyak belanja, udah ketebak.
Mereka turun dari taksi di Malioboro. Dan memang benar kalau malam minggu di Jogja itu adalah malam yang panjang. Orang-orang tetep ramai memadati trotoar dan jalan. Mereka bertiga pulang dulu ke penginapan, tapi mereka tidak langsung tidur, tapi mereka hanya istirahat sebelum menikmati keindahan malam di Jogja. Mereka hendak memaksimalkan malam itu karena besok paginya harus langsung bergegas menuju ke Stasiun Tugu untuk pulang.
Malam terakhir mereka di Jogja itu mereka habiskan dengan keliling Jogja naik becak (nah ini baru nyiriin beckpacker), tapi dasar gamau rugi, mereka naik satu becak untuk bertiga. Jelas lah becaknya menjadi sempit, bayangin aja, bertiga bro, ditambah lagi ada kingkong diantara mereka. Mereka sih ketawa-ketawa aja selama di becak, tapi kasian tuk meang becaknya, harus bekerja ekstra. Mereka diantarkan oleh tukang becak sampai ke alun-alun Jogja, yang deket keraton, disana ramai banyak orang yang kayanya juga lagi liburan. Mereka hanya jalan-jalan dan liat-liat aja. Ada hal menarik di alun-alun itu, yaitu Mitos Beringin Kembar, jadi nanti ada orang yang diputrer-puterin dulu badannya, terus dibiarin jalan kaki, kalau dia bisa jalan dan lewat diantara batang pohon beringin (ada dua pohon beringin yang batangnya membentuk seperti gerbang masuk gitu). Konon katanya, yang bisa lewatin itu bakal dimudahkan rezeki dan jodoh. Ya, mau percaya atau engga sih bebas.
Tidak terlalu lama mereka di alun-alun sana, mereka akhirnya kembali ke penginapan untuk istirahat. Mengingat besoknya mereka harus pulang pagi. Hoaaam
Hari ke-3 di Jogja
Pagi mereka terbuat dari rasa lelah dan harus menerima kenyataan bahwa pada hari ini mereka harus pulang. Mereka terpaksa pulang karena pada hari Senin esoknya Qibul harus kuliah. Pagi-pagi mereka sudah packing dan mandi dan beres-beres dan pamitan darn juga bayar penginapan. Tidak banyak yang bisa diceritakan untuk hari ini. Jam 07.00 WIB mereka sudah menuju ke Stasiun Tugu dan sarapan di dekat sana. Mereka berpamitan pada Jogja dengan memakan nasi kucing. Jam 08.00 WIB kereta sudah menjemput mereka, dan mengantar mereka kembali ke tempat yang seharusnya, di Bandung .
Mereka pun naik ke kereta dan dengan berat hati harus meninggalkan Jogja, karena dompet mereka sudah ringan.. Mereka duduk di kereta sekitar 8 jam..
Mereka sampai Bandung sekitar jam 16.00 WIB. Dari Stasiun Bandung mereka dijemput oleh orang tua Qibul dan Dicky naik mobil (Nah ini, backpacker macam apalagi pake dijemput-jemput -_-)
"Unplanned journey will be the unforgettable one"
TAMAT
(ditulis waktu lagi kangen backpackeran bareng mereka)
Moral of the story:
-Jangan ngedadak kalau mau beli karcis kereta
-Jangan banyak jajan kalau mau backpackeran
-Jangan nunggu bertahun-tahun untuk menulis cerita, keburu banyak yang lupa
Foto-foto:
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeletePesan moralnya dapet banget dah! Ayo-ayo tulis lagi pengalamannya! Aku suka nih bacanya...
ReplyDeleteTerimakasih nih desainer kece! Terus berkarya juga, karya-karya kamu keren!
Deleteboleh nih jd referensi jgn sampe mendadak beli tiket kereta, untungnya saya udh prepare dari 3 bulan sebelumnya :)
ReplyDeleteiya nih bener banget kalau 3 bulan sebelumnya mah aman lah itu :)
Deletejadi kangen rumah nih
ReplyDeletenice post,,salam kenal :)
salam kenal juga hehe rumahnya dimana emang?
DeleteKalo baca postingan ttg jogja dan ada borobudur nya jadi inget 6 tahun yg lalu, seminggu di jogja dan 3 hari berturut2 tiap sore gw ke borobudur, cuman duduk di pojokan liat candi dari kejauhan di temanin gerimis itu rasa nya merinding banget ..... Bener2 kebesaran Tuhan :)
ReplyDeletegerimis di Jogja itu kan romantis :))
Deletekapan ke Jogja lagi?
ReplyDeletebelum tau nih hehehehe
Delete