edit

Mimpi Kuliah di Luar Negeri

Akhirnya salah satu cita-cita saya bisa terlaksana juga. Bisa menempuh pendidikan di luar negeri. Mungkin sekarang hal ini sudah biasa saja, tapi jujur saja, bagi saya ini adalah sesuatu yang istimewa. Di kampus saya sebelumnya, saya hanyalah mahasiswa biasa, tidak lulus dengan IPK cumlaude, tidak pernah mengikuti olimpiade sains, tidak pernah mengikuti lomba karya tulis, menjadi asisen dosen, atau hal lain yang bisa dibanggakan.

Kala itu saya hanya mahasiswa yang datang tepat waktu, ya, tepat waktu dalam artian benar-benar “pas”, bahkan kadang terlambat, eh sering deh. Di kelas pun saya sering tertidur. Sehingga ketika teman-teman saya mendapat kabar bahwa saya mendapat beasiswa untuk lanjut kuliah di luar negeri, tidak sedikit dari  mereka yang tidak percaya.


Saat kuliah, pikiran saya perlahan mulai terbuka, bertemu dengan teman baru dari berbagai daerah, mulai dari Batak, Jawa, Minang, Papua dll. Saat itu pun saya mulai tertarik untuk menjelajahi berbagai daerah di Indonesia, tentu saja untuk melihat alam dan kehidupan sosialnya. Di kampus pun saya  mengikuti sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa yang kebanyakan orang mengenalnya sebagai “Pecinta Alam”, dari sini pun saya banyak menjelajah tempat-tempat baru. Mendaki gunung, menyusuri pantai, mengarungi sungai, menjadi kegiatan saya selain belajar di kampus, bahkan bagi saya ini lebih menyenangkan.

Hobi saya untuk “menjelajah” pun semakin mengepakan sayapnya saat semester 5. Kala itu ada mata kuliah “PKL” alias Praktik Kerja Lapangan, dimana selama kurang-lebih satu bulan, mahasiswa akan belajar langsung di perusahaan ternak atau pun pengolahan hasil ternak. Kebanyakan teman saya saat itu mengambil PKL di perusahaan yang berlokasi di daerah Jawa Barat dan sekitarnya. Beruntung, saat itu saya bisa melaksanakan PKL di Bangli, sebuah daerah di Provinsi Bali. Tentu saja saya tidak sendiri.

Selama di Bali, kami tinggal selama 1,5 bulan bersama sebuah keluarga asli Bali yang beragama Hindu dan masih memegang kuat adat-istiadatnya. Mereka sangat baik pada kami. Disana saya mulai mengenali bagaimana kehidupan orang Bali, bagaimana ibadah dan tradisi umat Hindu, dll. Mulai dari sini lah hasrat saya untuk “menjelajah” belahan lain Indonesia semakin kuat.

Memasuki semester 8, saya mulai mempersiapkan penelitian dan menyusun skripsi sebagai salah satu syarat wajib jika ingin lulus dari kampus dengan gelar sarjana. Tapi jujur saja, bagi saya pribadi, gelar itu bukan sesuatu yang bisa dibanggakan. Lagi-lagi, penelitian yang saya lakukan cukup “nyeleneh” jika dibandingkan dengan mahasiswa yang lain. Saat mahasiswa lain melakukan penelitian di kampus, laboratorium, atau pun perusahaan peternakan, saya malah memilih untuk melakukan penelitian di Tana Toraja. Sebuah daerah di Provinsi Sulawesi Selatan yang masih kuat dengan mistik dan adat-istiadatnya.

Di Toraja saya tinggal dirumah seorang Nenek yang akhirnya kami panggil Oma. Dia sangat bakik 
pada saya dan kedua teman saya. Selama di Toraja pun saya mulai mengenali kehidupan Suku Toraja disana, yang ternyata tidak seseram yang dibayangkan. Mereka sangat ramah dan welcome pada kami.

Singkat cerita akhirnya saya pun lulus setelah berhasil melakukan penelitian dan menyusun skripsi. Selama masa-masa akhir kuliah ini saya sering travling ke berbagai daerah seperti Yogyakarta, Jawa Tengah, dll. Saya banyak mendapatkan teman baru, baik dari Indonesia atau pun dari luar Indonesia. Dan satu bulan setelah lulus, saya mengikuti sebuah program “volunteer” di salah satu Pusat Rehabilitasi Orangutan di Berau, Kalimantan Timur. Disini pun saya belajar lagi sedikit mengenai kehidupan Suku Dayak, dan saya mendapat banyak teman baru lagi.

Selama semua perjalanan itu, saya tidak menjadikan berapa jauhnya tempat yang saya kunjungi sebagai patokan. Bagi saya yang paling penting adalah apa yang saya pelajari di tempat itu. Semakin saya banyak tempat yang pernah saya tinggali, semakin banyak teman yang saya miliki, semakin terbuka pula pikiran saya. Dunia ini terlalu luas, ada banyak hal yang belum kita ketahui. Semakin luas pergaulan saya pun, semakin luas pula toleransi yang saya miliki. Bagi saya, orang-orang yang intoleran itu hanyalah orang-orang yang kurang piknik dan sepanjang hidupnya hanya hidup sebagai mayoritas. Hal ini membuat mereka “belagu” dan merasa paling benar.

Saya tinggal di Kalimantan selama kurang lebih 5 bulan. Saya akhirnya kembali pulang dan tinggal di Bandung lagi. Tidak lama ternyata, 2 bulan setelahnya saya mendapat pekerjaan di Taman Margasatwa Ragunan di Jakarta.

Sekitar 6 bulan lamanya saya tinggal di Ibukota Indonesia ini, dan jujur saja, saya tidak benar-benar merasakan “kehidupan” disini. Walaupun secara penghasilan memang cukup memuaskan, tapi menurut saya Jakarta bukan lah tempat yang layak untuk menjadi tempat tinggal. Polusi, macet, kepadatan penduduk, dan masih banyak hal lain yang menutupi keindahan Kota Jakarta yang sesungguhnya.

Tentu saja, walaupun begitu, saya sangat bersyukur pernah tinggal di Jakarta. Selama tinggal di kota ini, saya mencoba untuk mendaftarkan diri saya untuk mendapatkan beasiswa pendidikan di luar negeri. Kala itu saya mendaftar untuk beasiswa ke Negara Rusia dan Polandia. Dan bersyukur pula, setelah mengikuti berbagai proses mulai dari administrasi, wawancara, pembekalan, dll, akhirnya secara resmi saya terdaftar sebagai salah satu penerima beasiswa dari Pemerintah Federasi Rusia.
Di tahun pertama, saya harus mengikuti pendidikan Bahasa Rusia di Tyumen State University sebelum melanjutkan S-2 di Tomsk Polytechnic University. Kampus ini terletak di sebuah kota di pertengahan Rusia, yaitu Kota Tyumen. Di kampus ini saya bertemu banyak teman baru dari berbagai Negara seperti Mongolia, Suriah, Vietnam, China, Ekuador, dll. Saya sangat senang, karena sekolah di luar negeri itu selain bisa menambah ilmu pengetahuan, kita juga bisa menambah wawasan mengenai kehidupan orang di berbagai belahan dunia lain.
Dan menurut saya, di era global ini, hanya pernah tinggal di satu kota atau Negara saja seumur hidup itu sangat disayangkan. Caranya pun sebenarnya tidak sesulit pada jaman dahulu, karena untuk akses informasi pun sudah mudah, dan kesempatan beasiswa pun ada sangat banyak. Selalu ingat pepatah yang mengatakan bahwa dimana ada kemauan disitu ada jalan. Walaupun klasik, tapi pepatah ini sangat menarik.


Terakhir, saya selalu ingat dengan kata-kata ini, “semua orang pasti mati, tpi tidak semua orang benar-benar hidup”. Semakin lama saya semakin paham dengan kutipan ini. 





No comments

Post a Comment