edit

Kematian Gajah Yani Salah Siapa?


Okay, mari kita biasakan membaca, jangan jadi orang yang baru baca langsung koar-koar seolah tau segalanya. Soalnya saya kasian sih sama orang-orang yang gampang terprovokasi, bisa internetan tapi malah bikin bego. Baru baca judu artikel, belum isinya, eh udah di share. Mohon ralat juga apabila ada kesalahan ya.

Lihat deh, setelah kasus Gajah Yani yang mati di Kebun Binatang Bandung ini langsung banyak yang koar-koar "Tutup aja Kebun Binatang Bandung! bla bla bla". Saya pengen nanya deh ke mereka, kalau ini bonbin ditutup satwa-satwanya mau dipindah kemana? Paling mereka cuma jawab "hmm ya gatau itu bukan urusan kita". Yaelah.


Di bonbin Bandung ini ada 900an satwa dan 80an staff (detik.com). Sayangnya mereka ga punya dokter hewan tetap. Emang ga gampang sih nyari Dokter Hewan yang mau kerja full di Bonbin. Selama kasus sakitnya gajah ini aja pihak pengelola bonbin pake semacam dokter hewan freelance dan konsul ke para ahli di Way Kambas.

Sebenernya yang salah itu bukan hanya dari pengelola bonbin aja sih. Kebun Binatang sebagai lembaga konservasi juga kan harusnya diawasi oleh pihak pihak terkait. Walaupun Bonbin Bandung dikelola oleh swasta, Yayasan Margasatwa Tamansari, tapi kan ada BKSDA, Dinas/Kementrian Kehutanan, Pemda, LSM dan pengunjung yang berfungsi juga sebagai pengawas.
Kalau kasusnya baru sebulan atau dua bulan bisa dibilang lah lembaga pengawas ini "kecolongan". Tapi kalau sampai bertaun-taun? Mungkin namanya "kecipratan". Ya kali bonbin ga punya dokter hewan (?).

Lagi pula ada yang lucu di kasus ini. Baca-baca di internet, entah benar atau ngga, tapi da lucu. Pak Ridwan Kamil ngetweet kalau izin operasional ada di KLHK (Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Eh di berita lain malah Menteri KLHK, Bu Siti Nurbaya masih belum tau siapa pengelola kebun binatang itu. Kan aneh ya? Atau cuma saya yang ngerasa aneh?


Begitu lah birokrasi di Indonesia yang ribetnya melebihi bagaimana cara menyusul ibu-ibu naik motor matic.

Nah kan, jadi kalau udah bahas siapa yang salah mah pasti ga akan ada habisnya. Daripada kita jadi generasi pencaci maki, lebih baik kita jadi pencari solusi. Bekerja di kebun binatang juga ga gampang, yang namanya pengawasan emang bener-bener jadi kunci utama. Buat para pengunjung juga, niat ke kebun binatang itu jangan hanya rekreasi, tambahin juga buat edukasi. Percuma habis main ke bonbin baliknya ninggalin sampah ratusan kilo, belum yang ngasih makan hewan sembarangan, dan pelanggaran lainnya. Coba tunjukan hasil wajib belajar 12 tahunnya.
Sekalipun saya bekerja di kebun binatang, tapi aslinya saya lebih senang melihat mereka di habitat aslinya di alam liar (who doesnt?). Sebaik apapun pengelolaan di kebun binatang, dengan segala upaya pemenuhan animal welfarenya, namanya hidup di kandang mah siapa yang ga stress atuh? Tapi mari kita lihat sisi lain, habitat asli mereka sudah benar benar kacau. Perburuan dan konversi lahan sudah bukan hal aneh.

sumber: solopos.com


Di habitat aslinya pun kerap kali gajah dijadikan buruan. Ada yang menganggapnya hama perkebunan, ada yang ingin dapat gading dan kulit gajah yang bernilai tinggi, ada yang jual dan dijadikan sirkus, dll. Habitat alami Gajah Sumatera pun sudah berkurang hingga 70℅ (WWF Indo). Populasinya pun diperkirakan tinggal 2000an, wajar kalau IUCN memasukan hewan langka ini ke dalam kategori "kritis", lebih parah dari terancam punah.

Fungsi kebun binatang sebagai lembaga konservasi ini tentu saja untuk melestarikan hewan agar tidak punah. Namun nyatanya kebun binatang lebih terfokus ke fungsi rekreasinya, fungsi edukasi dan konservasinya terabaikan. Gajah ini normalnya bisa hidup hingga usia 60 tahun, seharusnya jika dirawat di penangkaran, usianya bisa lebih tua 5-10 tahun.

Kembali lagi ke kasus Gajah Yani, jadi siapa yang salah? Semua pihak terkait tentunya. Tidak usah menyudutkan satu pihak saja. Jadikan kasus ini sebagai pembelajaran.

Ingat jangan jadi generasi pencaci maki, tapi jadilah generasi pemberi solusi.

No comments

Post a Comment