edit

Ciremai, Si Cantik yang Mistik

Sore mereka terbuat dari rasa harap harap cemas menunggu elf menuju Majalengka. Saksi bisu kecemasan mereka adalah rumah makan padang tempat mereka menunggu, jika rumah makan itu tidak bisu, dia pasti sudah tertawa terbahak melihat mereka. Tingkah mereka sudah tak karuan! Ada yang ngelamun, ngemil, tidur, hujan-hujanan, bahkan ada yang sampai godain orang. Mereka disini adalah enam orang anggota Unit Kenal Lingkungan (UKL) dan satu lagi adalah bukan, jadi mereka adalah tujuh. Kalau mau tau, tujuh orang tersebut bernama Didan, Rizqa, Iwa, Bill, Gandi, Rega, dan Ventus.

Oh iya lupa bilang, mereka ini hendak menuju ke Gunung Ciremai. Secara administratif Gunung ini terletak diantara tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon, dan Kabupaten Majalengka. Ketinggian 3.078 meter diatas permukaan laut menjadikan gunung ini sebagai gunung tertinggi di Jawa Barat. Tujuan mereka ke Gunung Ciremai ini adalah untuk sebagai persiapan mereka ke Gunung Tambora, untuk latihan fisik, latihan navigasi darat, dan mengenal gunung tipe stratovolcano.

"Stratovolcano, juga dikenal sebagai gunung berapi komposit, ialah pegunungan (gunung berapi) yang tinggi dan mengerucut yang terdiri atas lava dan abu vulkanik yang mengeras" - Om Wikipedia

Setelah sekitar satu jam menunggu, sekitar maghrib, akhirnya elf yang mereka tunggu pun datang juga. Mereka teriak kegirangan, sampai mereka sadar bahwa elf tersebut sudah penuh. Mereka sadar kalau mereka ada tujuh orang. tapi mereka juga sadar, susah untuk mendapat elf yang menuju ke Terminal Maja di Majalengka. Mereka kebingungan, ada elf galau, ga ada elf apalagi, tapi knek (kondektur) elf ini tidak tinggal diam. Dia bergegas melobi kami dan meyakinkan kami bahwa elf itu masih muat untuk tujuh orang. Yaa, apa boleh  buat mereka bertujuh pun mencoba dulu.

"Bu geseran ke sebelah sana sedikit lagi" ,"Pa itu kursinya bisa buat empat orang" ... ya, begitulah kira-kira knek itu memperjuangkan mereka (lebih tepatnya memperjuangkan ongkos-ongkos dan uang yang akan diterima dari mereka) Hampir 10 menit knek itu mengatur strategi dan formasi agar elf itu bisa menampung para pendaki itu.

Beginilah kira-kira formasinya:

- Rega : duduk di depan bersama tiga orang lainnya (jadi di depan elf itu ada empat orang termasuk supir)

- Iwa dan Rizqa : berdiri deket knek di lawang pintu elf

- Bill : duduk berdesakan di deket pintu

- Didan : duduk di antara nenek-nenek dan orang gendut yang pelit berbagi kursi (bisa dibilang sih jongkok)

- Gandi dan Ventus : duduk di atas elf bersama carriel-carriel mereka yang diikat di atas elf


Menyedihkan memang, mereka harus tetap dalam kondisi seperti itu sampai beberapa jam ke depan. Saat ada penumpang yang turun adalah saat-saat yang membahagiakan bagi mereka. Satu persatu penumpang pun turun, sampai akhirnya mereka bertujuh bisa duduk nyaman di dalam elf itu. Melelahkan, mereka pun ngemil dan sesekali tidur sampai akhirnya elf sampai di Terminal Maja jam 20.50 WIB, hampir tiga jam mereka di elf itu.

Turun dari elf itu adalah surga tersendiri bagi mereka, mereka pun melakukan stretching untuk memulihkan otot-otot mereka yang pasti tersiksa selama perjalanan di ellf, dilanjut dengan makan disebuah tempat makan sederhana berbentuk seperti angkringan. Mereka makan seperti orang yang baru beres survival berhari-hari di tengah hutan, rakus! Pedahal mulai mendaki aja belum.

Malam itu mereka habiskan dengan bersantai ria diselipi sedikit briefing dan persiapan untuk pendakian ke Gunung Ciremai esok pagi. Oh iya, mereka beristirahat di sebuah Mushola dengan ukuran sekitar  4 x 4 meter, yang dilengkapi WC yang kurang bersih, bukan masalah sih. Walaupun mereka tau mereka harus bangun besok pagi, tapi tetap saja mereka begadang, ya tapi begadang mereka itu ada gunanya, sepanjang malam mereka memasak, menyiapkan peta, dan juga membagi jadwal piket untuk jaga barang di malam hari.   Mereka bergantian piket setiap dua jam sekali, dan kalau dihitung-hitung setiap orang hanya  jatah tidur sekitar empat jam. Lumayanlah ~

Waktu sudah menunjukan pukul 05.00 WIB, sudah waktunya mereka bangun, Didan dan Iwa adalah mereka yang bertugas membangunkan yang lain, karena saat itu adalah bagian piket mereka. Didan dan Iwa juga lah yang bertugas menyiapkan makanan untuk yang lainnya. Satu per satu dari mereka pun akhirnya bangun. Tentu saja wajah mereka berantakan, pasti belum bener-bener fit.

Awal hari mereka terbuat dari sebungkus nasi kuning yang dibeli oleh Iwa dan dibuat oleh si teteh. Kuningnya nasi sudah sulit dibedakan dengan gigi mereka saat mereka makan, mana ya ng nasi, mana yang gigi, ya, karena mereka belum gosok gigi.  Mereka makan sekitar 10 menit, dilanjutkan dengan packing sampai pukul 05.50 WIB. Selesai packing mereka stretching kecil-kecilan. Oh iya, sebelumnya Rizqa sudah pernah dua kali mendaki Gunung Ciremai ini, jadi tidak heran kalau dia menjadi orang yang paling tau tentang Gunung Ciremai dibanding yang lainnya. Rizqa pun memimpin perjalanan.

Pukul 06.03 WIB mereka bergegas berangkat meninggalkan Mushola yang sudah melindungi mereka dari serangan angin malam menuju sebuah petualangan yang akan justru akan menantang angin malam. Perjalanan mereka dimulai dengan menaiki sebuah Kolbak menuju kaki Gunung Ciremai. Untuk mencapai ke kaki gunungnya memang jauh, sehingga lebih disarankan untuk naik kendaraan terlebih dahulu.

Setelah sekitar 30 menit mereka diam di atas kolbak, akhirnya mereka sampai juga ke Desa Apuy, desa terakhir sebelum memulai pendakian ke Gunung Ciremai. Desa Apuy ini tingginya kurang lebih 1200 meter di atas permukaan laut.



Sekedar info, untuk mendaki Gunung Ciremai itu ada tiga jalur; Jalur Apuy, Jalur Linggarjati, dan Jalur Palutungan. Jalur Apuy merupakan jalur paling mudah dibanding yang lainnya. Jalur Linggarjati dimulai dari ketinggian sekitar 650 mdpl dan jalurnya bisa dibilang ekstrim.

Dari Desa Apuy mereka mulai berjalan menuju Pos I Gunung Ciremai, perjalanan ke Pos I ini membutuhkan waktu 1 jam 25 menit. Selama perjalanan menuju Pos I, mereka harus melalui perkebunan penduduk dan juga melewati curug (air terjun). Setiap mereka bertemu dengan warga disana, pasti mereka ditanya, "Bade ka puncak?" ("Mau ke puncak?"), pertanyaan yang sudah tak terhitung berapa kali ditanyakan. Perjalanan menuju Pos I juga tidak mudah, apalagi bagi mereka yang baru pertama kali melalui jalur itu, karena banyak jalan bercabang. Pos I ini ditandai dengan  sebuah shelter yang cukup luas tapi sayang, kotor dan banyak coretan (vandalisme). Terlihat kurang perhatian dari pihak yang berwenang, dan juga tidak ada tanggung jawab dan kepedulian dari mereka yang mendaki. Pos I disebut juga sebagai Blok Arban, ketinggianya 1.614 mdpl.

Dari Pos I menuju Pos II jalurnya masih tidak terlalu terjal, dibutuhkan waktu sekitar satu jam juga. Pos II disebut juga Simpang Lima, memiliki ketinggian 1.915 mdpl. Begitupun dari Pos II ke Pos III, Pos III ke Pos IV dan Pos IV ke Pos V, jalurnya masih terbilang lumayan, kondisi tim pun masih normal, tapi sudah mulai tampak kelelahan. Di Pos III tim sempat istirahat dulu untuk makan beberapa safety food. Sepanjang perjalanan masih banyak vegetasi dan pemandangan yang memanjakan mata. Mereka sampai di Pos V sekitar pukul 12.25 WIB.

Setelah sekitar 20 menit istirahat di Pos V, mereka pun melanjutkan perjalanan ke Puncak, tapi perjalanan dari Pos V ini sudah mulai berbeda dari pos-pos sebelumnya. Vegetasi yang terlihat pun sudah mulai berkurang, tidak banyak pohon yang terlihat di samping mereka. Jalannya pun sudah mulai terjal dan bebatuan. Kondisi tim pun perlahan mulai memburuk. Perjalanan yang sebelumnya cepat, sekarang sudah lambat. Langkah kaki mereka pun terlihat menjadi berat.

Sudah hampir 100 menit berjalan, akhirnya mereka sampai juga di Palutungan, pemandangan di Palutungan ini sangat indah. Hari yang cerah menjadikan kolaborasi biru langit dan putih awan tampak begitu menawan. Kecantikan Edelweiss melengkapi keindahan disana. Mereka yang tadinya merencanakan untuk langsung menuju Puncak pun memutuskan untuk berhenti dulu di Palutungan. Mereka istirahat sambil ngemil dan juga foto-foto dulu disana. Nampaknya mereka betah disana, tapi mereka juga harus ingat untuk terus melanjutkan perjalanan.

Palutungan ini juga merupakan jalur pertemuan dari semua jalur untuk menuju ke Puncak Gunung Ciremai. Setelah hampir 30 menit mereka disana, mereka pun melanjutkan perjalanan ke Puncak. Nampaknya karena mereka sudah keasikan diam di Palutungan dan juga karena kondisi mereka yang sudah kelelahan, menjadikan perjalanan mereka ke puncak ini menjadi lebih sulit dari perjalanan sebelumnya. Mereka berjalan dengan punggung yang membungkuk dan sesekali memegangi lutut mereka. Kala itu matahari juga benar-benar terasa sangat panas.

Didan terlihat sebagai personil yang paling kelelahan, pedahal barang bawaanya sudah paling ringan. Mungkin karena ini adalah pendakian pertamanya lagi setelah dia sembuh dari penyakit thiroid yang pernah menyerangnya selama berminggu-minggu. Begitu pun Rizqa, dia terlihat paling sering memegangi lututnya. Iwa yang merupakan orang paling kuat diantara mereka pun terlihat sangat lelah. Ya, tapi semua itu tetap tidak menghentikan semangat mereka untuk menuju ke Puncak.

Sebelum sampai di Puncak, mereka melalui Pos VI terlebih dahulu. Pos VI ini ada di atas Gua Walet yang akan menjadi tempat camp mereka. Setelah satu jam lebih (mungkin normalnya tidak sampai satu jam), akhirnya mereka sampai ke Puncak juga. "ALHAMDULILLAAAAAH!!!", begitulah teriakan mereka saat sampai di 3.078 mdpl, tanah teringgi di Jawa Barat. Rasa lelah pun terlihat sirna dari mereka, ekspresi wajah mereka terlihat sangat bahagia karena melihat pemandangan dari atas Puncak Ciremai yang begitu elok. Langitnya, kawahnya, jalurnya, dan yang pasti suasananya yang sudah mereka rekam lewat kamera SLR milik Didan dan pastinya sudah mereka rekam dalam pikiran mereka, dan tidak lupa untuk sujud syukur pastinya.

Satu jam sudah mereka mendokumentasikan keindahan Puncak Ciremai. Sekarang waktu sudah menunjukan pukul 17.09 WIB, langit pun sudah mulai gelap, ini pertanda bahwa mereka harus segera turun dari Puncak. Mereka pun bergegas turun menuju ke Gua Walet yang terletak di bawah Pos VI, sekitar 10 menit dari Puncak. Sampai di Gua Walet mereka langsung membangun tempat camp dan masak. Di Gua Walet mereka bergabung bersama dengan Pecinta Alam dari tempat lain yang juga sedang melakukan pendakian.

Malam mereka di Gua Walet dihabiskan dengan makan bersama, saling bercerita dan tertawa bersama. Ada satu hal yang membuat mereka heran, selama perjalanan menuju Puncak Gunung Ciremai, mereka menemukan banyak botol-botol dan kantung plastik yang digantungkan di batang-batang pohon. Kebanyakan dari botol dan plastik itu berisikan air kencing dari para pendaki. Jadi, menurut mitos orang-orang disana, jika kita hendak buang air atau kencing itu, jangan sampai airnya menyentuh ke tanah, jika menyentuh ke tanah konon katanya yang buang air itu akan tersesat! Karena kepercayaan ini lah banyak pendaki yang memilih untuk buang air di dalam botol lalu digantungkan diatas pohon. Pedahal jika dilihat dari sisi ilmiah, urin ini mengandung bahan-bahan kimia seperti nitrogen, potasium, dan fosfor yang bisa membantu menyuburkan tanah. Tapi ya percaya ga percaya, kepercayaan masyarakat tetap harus di hargai.

Mereka memutuskan untuk tidak begadang, karena besok harus fit untuk melakukan latihan navigasi darat. Sekitar jam 09.15 mereka sudah tidak melakukan aktivitas apa pun lagi. Tidak ada jadwal piket juga. Mereka juga berencana untuk melihat sunrise dari atas puncak Ciremai. Mereka pun memasang alarm jam 03.00 WIB, semakin dini, semakin maksimal sunrise yang bisa dilihat. Tapi sayang, ternyata alarm itu hanya lah sebagai formalitas. Walau pun sudah berbunyi berulang kali, tetap saja mereka bangun terlambat, sekitar jam 05.30 WIB. Mereka pun melewatkan kesempatan untuk menyaksikan serangan fajar dari atas puncak. Yap, mungkin karena kelelahan.

Berhubung mereka tidak jadi menyaksikan sunrise, mereka pun jadinya langsung memasak. Mereka makan sampai sekitar jam 07.00 WIB dilanjut packing dan pendokumentasian di Gua Walet. Ternyata Gua Walet ini adalah sumber air juga, terutama saat musim hujan. Setelah sekitar dua jam, mereka pun akhirnya melanjutkan perjalanan pulang, sekitar jam 09.20 WIB, mereka pun berpamitan dengan Gua Walet dan pendaki lain yang ada disana.

Perjalanan pulang pun dimulai, mereka terlihat masih sangat segar. Beban di dalam carriel pun sudah berkurang. Sekitar pukul 10.18 WIB, mereka melakukan latihan navigasi darat, lokasinya di jalur antara Palutungan dan Pos V. Tapi sayang, cuaca di Ciremai saat itu tidak secerah hari kemarinnya. Kabut menyerbu di sekeliling gunung itu, mereka pun kesulitan untuk melakukan resection dan intersection karena pemandangan disana terhalang kabut, mereka tidak bisa menemukan titik tertinggi. Tapi mereka tetap melakukan navdar, dengan memanfaatkan objek sekitar (orientasi medan). Peta yang mereka gunakan adalah peta Talaga dan peta Kuningan.

http://my-artventure.blogspot.com/2013/03/navigasi-darat.html#.UYWwfqIhrIU (klik aja disini kalau mau tau tentang navigasi darat)

Sekitar satu setengah jam mereka melakukan latihan navdar, sekarang sudah saatnya turun. Jika pada hari kemarin Matahari di tengah hari begitu menyengat, tidak pada hari sekarang. Matahari justru tidak tampak. Awan pun nampak gelap, pertanda hujan. Mereka pun semakin bergegas untuk turun. 

Mereka turun dengan cepat, hampir berlari, atau mereka lebih mengenal teknik itu dengan nama "ngabagong". Walaupun di tengah jalan mereka ternyata harus berhadapan dengan hujan,w alaupun di tengah jalan juga sendal gunungnya Bang Ventus putus (yang menyebabkan dia harus turun tanpa alas kaki), walaupun kaki mereka terasa sakit, tapi hal itu tak menghentikan mereka. Jika kemarin mereka membutuhkan 7,5 jam berjalan untuk sampai ke puncak (tidak termasuk istirahat), sekarang mereka membutuhkan 4,5 jam untuk turun sampai ke kaki gunung. Mereka tiba di kaki gunung itu sekitar pukul 15.40 WIB.

Seperti saat pergi dari Terminal Maja menuju kaki gunung, sekarang mereka pun mencari kolbak lagi untuk kembali ke Terminal Maja. Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk mendapatkan kolbak. Pukul 16.20 WIB pun mereka sudah tiba di Terminal Maja. Tak terasa pendakian pun ternyata sudah selesai. Bagi Didan dan Bill, pendakian ke Gunung Ciremai adalah pendakian pertama ke Gunung dengan ketinggian diatas 3.000 mdpl. 

Di Terminal Maja itu mereka tidak langsung pulang, merekant masak dulu disana, karena persediaan makan pun masih cukup banyak. Mereka makan besar disana, mengeluarkan semua makanan yang masih tersisa. Mereka juga mandi dan ganti pakaian juga di WC terminal. Kasian ke penumpang di Elf nanti kalau ga mandi dan ga ganti pakaian dulu. Mereka makan sampai sekitar pukul 18.00 WIB, dan langsung mencari Elf menuju Jatinangor. Mereka mendapatkan Elf ke arah Jatinangor sekitar pukul 18.30 WIB dan sampai ke Jatinangor sekitar pukul 21.30 WIB. Perjalanan pulang mereka terbilang nyaman, tidak harus berdesakan seperti kemarin. Di Jatinangor mereka (para anak UKL) berpamitan dengan Bang Ventus. Dari Jatinangor mereka kembali ke Basecamp UKL dijemput oleh Rangga dengan mobilnya.

Sampai di Basecamp pun mereka kembali mengucap rasa syukur. Perjalanan yang sungguh menyenangkan. Gunung Ciremai yang sangat cantik tapi juga begitu mistik. Mereka pun masih terpikirkan tentang air kencing yang digantung di pohon oleh para pendaki, juga tentang hal mistik disana yang lainnya. Apalagi Rizqa yang saat perjalanan turun mendengar suara seperti auman Harimau di jalur antara Pos III ke Pos II. Misteri yang sampai sekarang dan sampai kapan pun akan tetap menjadi misteri.

 "Terimakasih, Ciremai!" 

foto-foto lain:












6 comments

  1. Banyakin foto2 view y donk maaas...pengen naik gunung lagi tapi udah tua..hahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. ehehehe kebanyakan foto view ada di facebook kang, disini ga semua dimasukin :)

      Delete
  2. Seru ceritanya, air kencing yg digantung di ciremai ckup mengganggu n malah terkesan jorok.

    ReplyDelete
    Replies
    1. betul kang, sayang pemandangan yang indah jadi tergnggu ya

      Delete
  3. mungkin sedikit koreksi. di atas Pos V sebenernya bukan palutungan (yang ada in memoriam di tengah jalan. saya menyebutnya 'pertigaan' atau 'pertigaan palutungan' atau 'pertigaan jalur palutungan'. karena palutungan nya sendiri ada di bawah. :p just opinion.

    ReplyDelete